Every Beginning Has an End
“Tag Line Film the Matrik Reloaded”
Ini adalah Gerbang
Malam itu, jam 19.25, Minggu 24 Mei 2009. Kutemukan di tumpukan kertas-kertas lama. Kertas-kertas itu korban dari curhat saat di SMA. Ada sesuatu menarik, di antaranya.
Sesaat ketika memulai membaca tulisan itu, merasa ada yang aneh dengan hidup sekarang. Itu seperti mendapatkan pengalaman saat menonton-menonton film “Letter Of Iwo Jima”, sebuah pengalaman yang menakjubkan, bukan karena mengagumi diri sendiri, tetapi hanya heran dan merasa seperti sedang berjumpa dengan teman lama. Perasaan yang bebas dan ceria, perasaan yang sama seperti ketika menatap langit berwarna merah. Sebuah perasaan yang indah, tetapi sederhana. Itu yang membuat saya perlu menuliskannnya lagi, tetapi anehnya sedikit rasa malu berpendar menyelimuti sekujur kesadaran. Sebab apa, sebab itu sama saja dengan menonton film yang berisi memoar, dengan setting dan pemerannya adalah diriku sendiri, tetapi pada masa yang telah lampau. Tetapi saya meyakini, siapapun kita terkadang akan sedikit tersipu ketika mengingat, mendengar atau bahkan melihat gambaran tentang diri sendiri pada masa lampau.

Sebuah kertas sheet berdebu, gambar kartun lucu di pojokan menjadi penghiasnya. Latar biru laut dengan sedikit warna kuning, Kiky Creative Production begitu nama perusahaan yang memproduksinya. Di atas selembar kertas itulah barisan tulisan cakar ayam berjudul “Untukmu saudaraku” itu di goreskan, kacau dan tidak rapi. Bahkan saya sendiri tidak mampu membaca beberapa bagiannya.
Diawali dengan pernyataan. “Saudara renungkanlah.”
Ini aku, aku hanyalah anak Sekolah Menengah Atas di sebuah kota kecil di pinggiran negeri. Ingin rasanya berarti bagi kehidupan secara luas, namun jika membayangkan betapa kuat dan perkasanya, sepertinya akan mampu membunuh siapapun, membela diri dengan tajam. Namun, hamba harus tetap, melakukan titah sang paduka.
Saudara!
Betapa banyak rintangan dalam kehidupan yang bila ditulis tidak mungkin cukup dengan beratus ribu rim kertas, dan memang tidak mungkin menuliskan kecuali atas ridho-Nya.
Segala macam kesulitan itu hanya bisa dihadapi dengan kesungguhan. Sebab, hidup ini sendiri dicipta dengan kesunguhan, bukan dengan kepuraan, apalagi kebohongan. Itulah karenanya yang berkilau belum tentu emas, ketauhilah itu. Oleh karena hakikat emas sendiri adalah kilauannya. Kilauan itulah yang membuat dicari kepuasan, ditumpuk dan tanpa disadari suatu saat kilauan itu pun memudar. Setelah kilatan dari kilauan itu menghilang, tinggalah tumpukan besi dan batuan yang menumpuk, menjadi sampah.
Sebab itu, carilah sebuah kesungguhan bahkan jika perlu hakikat dari kesunguhan itu sendiri, carilah dibalik segalanya, bukankah mutiara tidak ada di permukaan lautan, ia ada dan tersimpan di balik tubuh tiram-tiram yang pernah merasakan kesakitan atas apa yang memasuki cangkang dan menempel pada daging rapuhnya.
Saudara!
Hidup bukan hanya perkara mengumpulkan point-point reward, seolah undian dan pada saat-saat terakhir ketika malaikat memutar gagang mesin pengundian, sang penjudi ulunglah yang mendapatkan hasil terbanyak.
Tidak saudara, hidup bukan hanya perkara mengumpulkan poin. Jika memang hidup cuma urusan poin, akankah manusia-manusia yang berusaha dengan penuh kesungguhan dan tetap tak dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan poin akan tersia-siakan begitu saja?
Saudara!
Renungkan, betapa banyak yang telah diberikan kehidupan mulai dari saat merasakan kegelapan di rahim ibu, hingga saat berada dalam tidur panjang di pangkuan ibu bumi.
Betapa kehidupan begitu cintanya, segala dia berikan, tetapi apa balasannya? Apakah hutan gundul, sungai kering, aliran darah yang mampet, udara pengap? Bahkan sekali waktu terbunuh dan terambil mahkota miliknya serta terinjak-injak singgasananya, terludahi wajahnya. Tidakkah sekali waktu terpikir betapa sedih, betapa sekali waktu menangis hingga mengeluarkan air mata darah. Paling menyedihkan, adalah sikap kesombongan, sikap keraguan, sikap kesewenangan. Lebih parah lagi sikap mukaduaan. Itu terjadi karena yang terlakukan bukan karena mencinta, hanya karena ego diri sendiri dan takut jika suatu saat kehidupan murka. Padahal betapa terasa butuh padanya.
Saudara!
Mungkin kehidupan memang kejam, tetapi bukankah ia layak di perjuangkan? Betapa banyak yang buruk menjadi indah, yang kemilau menjadi sampah, tetapi itu tidak lain hanyalah agar semua di dalamnya menjadi dewasa, bahagia, kuat, dan menjadi diri sendiri. Utamanya agar kuat menerima kehidupan nanti, yang selanjutnya
Saudara!
Mungkin hanya ini untukmu, sekedar pengingat bahwa mau atau tidak, semua harus berbuat sesuatu untuk hidup dan kehidupan sebagai sebuah hakikat penciptaan. Yang tidak lain menuju dan menjadi lebih bermartabat dan mulia serta wakil dari pemeliharaan bumi yang telah diamanatkan, tidak diberikan.
Gunakan hati, lakukan dengan sungguh-sungguh, jika seorang guru jadilah guru jangan jadi penyuruh. Jika pemimpin, jadilah panutan jangan jadi tukang pungut. Jika sastrawan jadilah dermawan akan ilmu yang dititipkan. Jadilah terhormat, pembangun perubahan. Jika remaja jangan siakan masa muda, jadikan tempat berada, awal langkah menuju masa tua yang dewasa, sebab andai para remaja dunia dipenuhi mereka yang menjadi tua sekedar karena usia, tidak menjadi bijaksana sebab buta arah. Meski mimpi belum terlaksana, yakinilah bahwa itu bukan kegagalan, mungkin bukan atau belum waktunya atau kehidupan akan mengganti dengan yang lebih indah.
Saudara!
Ingatlah bahwa begitu cintanya kehidupan, karenanya balaslah dengan mencintai sesama maupun yang bukan sesama, niscaya tidak akan merugi hingga akhir hayat nanti. Sedikit ini. Mungkin sama sekali tidak berarti, namun harap kirimlah doa, sebab apapun ocehan tetap bukanlah sebagai saudara kehidupan, sekedar hamba yang wajib menyampaikan.
Semoga ini mengingatkan akan betapa kehidupan sungguh-sungguh mencinta, cinta yang berawal dari pencipataan bentuk, dengan nafas serta jiwa ke dalam diri yang terwakili oleh moyang.
Ya Saudara, masihkah berani dengan tetap melakukan kesombongan. Campakan ke dalam perapian.
Pada tahun ini, tahun yang berbeda mencoba menyambung mimpi-mimpi, setiap kata-kata menafi diri kini. Aku sendiri merasa binggung, seolah seorang yang sesat, tak tahu mau kemana. Tetapi, belum berakhir, masih ada sambungannya.
Ini tidak dimulai dengan kata saudara.
Ini dimulai dengan kehidupan yang keras, jaman yang tak mungkin bisa dilawan. Keinginan-keinginan mewujudkan impian, rasa dan romantisme seolah selalu hidup dan menjadi remaja. Membuat kita mengharapkan sebuah perubahan, namun perubahan adalah sebuah keniscayaan yang senantiasa berganti setiap detik dan helaan nafas. Seperti mekarnya bunga di tetamanan yang menebarkan keharuman dan memikat segala jenis kumbang, burung dan serangga. Namun akhirnya rontok dan gugur menjadi kehidupan lainnya.
Ini dimulai dengan kehidupan yang keras, jaman yang tak mungkin bisa dilawan. Keinginan-keinginan mewujudkan impian, rasa dan romantisme seolah selalu hidup dan menjadi remaja. Membuat kita mengharapkan sebuah perubahan, namun perubahan adalah sebuah keniscayaan yang senantiasa berganti setiap detik dan helaan nafas. Seperti mekarnya bunga di tetamanan yang menebarkan keharuman dan memikat segala jenis kumbang, burung dan serangga. Namun akhirnya rontok dan gugur menjadi kehidupan lainnya.
Adakah mungkin perubahan yang terindah seperti itulah yang diinginkan? Namun si bunga, sekali waktu gugur sebelum mekar, entah sebab dipetik perawan-perawan yang tertarik dan mengingini untuk menghias jambangannya, sebagai pengharum, bahkan hanya sekedar karena menuruti keinginan tangan usil.
Begitulah nasib, kita dan keinginan kita, namun adalah sebuah keagungan jika mampu bangun dari rasa sakit akan keinginan yang terbatalkan, dari sebuah keadaan yang menyakitkan. Dari kungkungan bayangan duniawi. Atau bahkan pada obsesi-obsesi surgawi yang mengungkung pada kesendirian batin dan rasa tentram diri semata, rasa tentram diri “ku”, bukan rasa tentram diri kita yang kolektif dan memenuhi tujuan sebagai hamba risalah dan pejuang perbaikan dunia.
Terbersit Tanya, dimanakah saat malam dan hujan, apakah berteduh dan menyiakan belajar setiap hal yang bersifat kodrat, bahwa manusia akan basah karena air dan ketakutan dalam gelap, atau mencoba melawan, demi kemuliaan dan kemakmuran bersama, walau memang tentunya menimbulkan luka dan trauma.
Yang itu, seperti pohon pisang yang berbuah sekali lalu mati. Seperti kelamnya malam yang hanya sepi, abadi.
Ditulis di Krian
2005
Dua tahun kemudian, aku menulis hal ini. Dalam bentuk puisi kacau, tentang suasana hati.
Aku sudah lelah,
Lelah menulis puisi,
Lelah menulis cerita
Lelah bicara tentang indah
Angan-angan masa depan
Dan mimpi-mimpi kehidupan
Yang jelas aku lelah
Sebab ingin itu adalah kenyataan
Bukan omongan atau kehampaan roman picisan
Dan seperti ini
Seperti ini tulisan yang memalukan
Krian, Juli 2007
Ada 24 jam dalam kehidupan kita
20 jam diantaranya dipenuhi rasa sakit dan dukacita
2 jam adalah harapan
Dan
2 jam sisanya adalah kebahagiaan, sebab aku didekatmu
Seperti ketika, pancuran jatuh ke dalam kolam
Dan membiarkan ikan-ikan berenang didalamnya
Menemukan serangga lalu melahapnya.
Krian, Juli 2007
Satu lagi, satu puisi lagi dari catatan yang sama
Kenapa aku menyukai menulis puisi
Sebab tidak butuh editing di dalamnya
Tak ada kata yang kecewa atau terluka
Tak ada hal yang cemburu marah pada sesamanya
Krian, Juli 2007
Buku-buku yang aku bongkar sudah kukembalikan pada tempatnya, aku berada di tempat yang berbeda. Dari waktu ketika aku menuliskan ulang “surat dari aku untuk aku”, seterusnya aku sampaikan pada semua bahwa aku menuliskan tiga hal tadi dalam nuansa tertekan. Yah tertekan sebab dipengaruhi rasa takut, takut akan membuat seseorang menjadi terluka.
Sekedar mencoba jujur dan menepati apa yang selalu dipahami dan dipegang setiap pekerja tulisan sepanjang gejala peradaban manusia, di dalam setiap pengerjaan-nya dia akan tuliskan setiap hal, setiap hal kecuali kebohongan tentang apa yang dituliskannya untuk pembaca, yang siap membuka hati dan meluangkan waktu, pikiran untuk mempelajari perkamen atau tulisannya kelak.
Aku sendiri juga tidak tahu, tidak tahu mengapa sesudah menuliskan tentang sesuatu yang seolah mengajari orang lain, bahkan mengarah pada menggurui. Lalu menulis sesuatu yang bernada tidak yakin. Absurd dan aneh terkesan prematur. Ketiga puisi tadi semuanya berbicara dengan nada terluka, kesemuanya menuturkan tentang rasa kecewa dan semuanya menuturkan ingin berhenti saja. Berhenti dari sebuah kegiatan. Berhenti dari menuliskan setiap hal dalam kegelisahan batin. Namun, bahwa ketiganya pernah dituliskan, paling tidak dari ketiganya ada fakta bahwa itu tidak aku tuliskan seperti biasa dalam buku harianku menunjukkan adanya kebingungan dan penyimpangan pemikiran dari tulisan yang bertahun 2005. Adakah itu berarti, aku mengingkari apa yang telah aku tuliskan sendiri.
Betapa sulitnya menuliskan tentang kebohongan, itulah dasar mengapa aku ungkap penuturan-penuturan ini. Betapa mempelajari setiap hal yang sudah kita tulis sendiri sama dengan membaca surat dari seorang kawan, setiap penuturan akan berkata tentang keadaan mewakili kondisi diri yang benar. Menulis ulang pengalaman kita pribadi menjadi salah satu cara guna memahami diri sendiri dengan lebih mendalam.
Sudahi dulu, ini masih ramadhan, esok puasa akan dimulai lagi, waktunya sahur. Sebab jam di border line komputerku telah menunjukan pukul 2.12 pagi. Ini semua dituliskan pada 2007 dan diketik ulang pada tahun 2009, sebagai bukti bahwa aku memang menuliskannya pada 2009, bahwa 1 Ramadhan Tahun 2009 jatuh pada bulan Agustus, tepatnya hari Sabtu, tanggal 22 Masehi. Ketika aku menuliskan ini, adalah tanggal 6 September 2009. Masih lebih kurang 15 hari lagi menuju Idul Fitri.
Sudah datang lagi,..
Sudah selesai.
Apanya? Tanyaku pada diri sendiri. Idul fitrinya yang sudah selesai. Ini sudah bulan Syawal, bahkan sebentar lagi bulan ini berlalu sudah. Menuju bulan Selo, bulan Selo adalah bulan penyela, antara bulan syawal dengan bulan Besar, bulan dimana banyak orang menunaikan ibadah haji. Orang-orang yang berusaha menunaikan ibadah haji adalah mereka yang mencoba untuk menggenapi dari apa yang menjadi rukun Islam. Ibadah ini menjadi tujuan penggenapan di dalam segi ritualitas, bahkan menjadi cita-cita semua orang muslim. Namun tidak semua orang Islam menunaikannya, hanya bagi mereka yang berkemampuan. Memang secara material ibadah ini menelan biaya yang lumayan banyak. Mungkin bagi mereka yang berlokasi tempat tinggal di tanah Arab sana tidak jadi masalah tinggal naik becak atau bemo, melakukan syarat-syarat yang di kemukakan dan selesai, pulang sudah menjadi seorang haji atau bahkan anak-anak yang beruntung dilahirkan di tanah sana sudah bisa langsung jadi haji. Yah, itu mungkin saja “sebab lokasi menentukan posisi, dan posisi menentukan prestasi”, kata seorang teman kepadaku.
Ada yang lumayan menarik hari-hari ini untuk di ceritakan, paling tidak pada aku sendiri. Kemarin dan tadi, aku menjalani hari-hari yang banyak bersentuhan dengan tema yang dibicarakan,”haji”. Seorang kolega bapak, akan pergi berhaji. Kemarin aku diminta untuk membantu di dalam acara selamatannya. Aku kebagian tugas membagikan berkat makanan, dan hantaran, beberapa jam lamanya aku berputar-putar kota demi menjalankan tugas itu. Selesai aku pulang dan melaporkan tingkat keberhasilan pada si empunya hajat, sukses. Sudah lumayan meski tidak sepenuhnya berhasil. Sebab ada dua hantaran yang tidak sampai ke alamat, dikarenakan hari terlalu malam.
Akhirnya aku pulang saja. Ngobrol seperti biasa., dan tidur. Pagi datang, seperti biasa aku bangun kesiangan. Ngobrol, kopi panas, dan ide. Bersamaan, muncullah ide untuk memberikan sesuatu pada si empunya hajat yang kemarin aku bantu untuk mendistibusikan hantaran berkatnya, ide bapak tentunya dan kurasa itu sangat brilliant. Tidak banyak, kusebut tidak banyak sebab pemberian itu berbentuk bilangan. Tidak banyak, sebab aku juga tidak andil sama sekali. Di dalam jumlah bilangan itu, sepenuhnya adalah dari kedayaan bapak dan persetujuan ibu.
Siangnya, kembali aku menuju rumah si empunya hajat kemarin. Awalnya, aku tidak bisa langsung berjumpa dengan si empunya rumah. Maka kembalilah aku ke kampus. Selesai sholat Jumat segera aku kembali ke rumah itu. Senyampang aku langsung ditemui oleh mereka, mereka si empunya rumah, mereka si pemilik hajat.
Aku serahkan apa yang sudah menjadi amanah dari bapak dan ibuku. Ekspresi yang aku dapatkan dari mereka lumayan bisa tertebak, sebab sebagaimana orang mendapatkan sesuatu yang tidak diduga pasti setengah terperangah. Apalagi aku tidak memberikan penjelasan terlampau banyak selain hanya, “menika saking bapak kalian ibu, mugi pakde lan bude kersa nampi”, terjemahan bebas nya, “ini dari bapak dan ibu, semoga Pakde dan Bude bersedia menerima”. Jawabannya juga standart, “lho opo iki”, sekali lagi terjemahan bebas, “lho apa ini”. Seketika Pakde menelepon bapak mencari penjelasan apa yang mendasari hal itu, sebentar terjadi percakapan di telepon dan selesai dengan ucapan terima kasih dari Pakde, ada yang aneh, setengah tergetar suara Pakde. Seperti orang sedang menahan gejolak perasaan, apa yang dirasakannya? Aku sendiri tidak tahu. Segera aku mohon pamit, memakai sepatu dan beranjak pergi.
Itu bukan apa-apa cuma sekedar fenomena keseharian. Dan sepertinya memang keseharian manusia dibangun dari tumpukan fenomena yang memenuhi memori dan kesadaran. Pikiran dan rasa perasaan manusia terbangun atas dasar fenomena yang dialaminya setiap hari. Fenomena tentang apa saja, dan tumpukan fenomena di dalam memori dan ingatan itulah yang dinamai sebagai pengalaman atau experience. Ingatan dan kesadaran manusia terus menerus menyimpan fenomena kehidupan sehari-hari, memunculkan pengalaman, dan akan terus menerus membelajarkan manusia dan bahkan memanusiakan manusia.
Tanpa adanya tumpukan fenomena di dalam memori dan kesadaran, maka tidak akan muncul pengalaman diri, tanpa adanya pengalaman diri maka manusia menjadi kehilangan kemanusian, sebab kemanusiaan terbentuk dari fakta-fakta yang terususun atas pengalaman jutaan individu di alam, sehingga membuatnya terus bergerak dan bertumbuh, hidup dan menghidupi sekaligus menyusun peradaban dan kemanusian, menghadirkan berjuta kemungkinan, menantang skill hidup dan kecerdasan berpikir umat manusia dalam masa yang panjang. Maka dari situlah, kita sebagai individu, memperoleh pengetahuan, pengetahuan yang merupakan piranti to respon and reasoning aneka tuntutan hidup yang menggentarkan, namun indah ini.
Disini Jembatannya
Pernahkah terpikir tentang air, tentang tanah, batu, udara, dan sinar matahari sebagai sebentuk substansi. Bahwa sub adalah bagian, stan adalah pendiri, akhiran –si, mengarah pada pembentukan kata sifat. Jadi kata substansi dimungkinkan dimaknai demikian; sebuah bagian yang mempunyai sifat sebagai suatu pendir. Pemaknaan kata ini afirmatif. Pemenggalan kata per-suku, guna menghasilkan makna. Hasilnya, terjemahan itu abstrak dan subyektif.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah kertas kerja, namun susunannya tidak disesuaikan dengan standart penulisan kertas kerja lainnya. Di dalamnya dimaksudkan agar, pembaca dapat mencermati memoar, sebagai salah satu bentuk cara penyampaian opini, sehingga dapat dipahami mengapa opini berhubungan dengan ketaksaan berpikir dan kemajemukan, disertai harapan agar segi tekstualitas yang melingkunginya, tidak mematikan dan mengungkung kebebasan berimajinasi dan ekspresi.
Marilah kita melakukan pembahasan tentang opini terlebih dahulu, opini adalah setiap pemikiran yang dikemukakan sebagai bentuk kristalisasi pikiran, atau perasaan, yang mengarah pada pembentukan pemikiran dan kepentingan, melalui berbagai macam media dan wahana.
Media penyampai opini bermacam-macam, bergantung pada kemampuan (dalam hal ini kepentingan), dan konteks yang melingkunginya. Ada yang dengan menulis, menggunakan tulisan sebagai media penyampai. Ada yang menggunakan suara, atau bunyi sebagai media penyampai, ada yang dengan berkumpul atau membuat perkumpulan, membicarakan tentang sebuah tema, maka berkumpul bisa sebagai wahana penyampai opini. Opini dapat pula menjadi sebuah sarana bagi suatu pihak untuk mengenal lebih dekat pihak lainnya.
Mengapa saya mengemukakan sebuah pertanyaan tentang substansi, padahal kita sedang melakukan pembahasan tentang persoalan opini. Ini sangat berkaitan, sebab di dalamnya terdapat kata dan konteks. Kontekslah yang melingkungi dan mendasari opini. Substansi, sebagai; sebuah bagian yang mempunyai sifat seperti suatu pendiri, sebagai “pewujud” konteks dan dasar atas lahirnya sebuah opini. Dan pada dasarnya tidak ada sesuatu yang tidak berdasar sama sekali, paling tidak dalam setiap hal yang tidak berdasar, tidak berdasar itu sendiri menjadi dasarnya.
Ambilah sebuah contoh berikut: Laki-laki dan wanita cantik itu tersandung batu dan berdarah. Laki-laki, wanita dan batu, substansial sebab masing-masing terikat pada sifat khas masing-masing pendirinya. Dan kalimat tersebut sepenuhnya terikat pada konteks, konteksnya adalah berdarah. Terdukung oleh substansi, laki-laki, wanita dan batu, terangkum oleh kesadaran dan pemikiran dari sekitar yang terikut di dalamnya. Kata, berdarah, sebagai dasar lahirnya opini bagi subyek ikutan. Ketika berbicara tentang subyek ikutan, sekaligus juga berbicara tentang media dan wahananya. Media tulis, subyek ikutannya adalah pembaca, media suara atau bunyi, subyek ikutannya adalah pendengar. Ketika wahananya adalah perkumpulan, medianya bisa berupa keduanya, dan subyek ikutannya adalah majelis perkumpulan tertentu. Dengan demikan, maka opini menjadi milik subyek ikutan. Opini sepenuhnya menjadi milik subyek ikutan, yang artinya adalah, pembaca, pendengar dan majelis perkumpulan.
Kini kita keluar dari konteks pembahasan tentang opini. Dengan tetap mengambil contoh: Laki-laki dan wanita cantik itu tersandung batu dan berdarah, kita mencoba mengubah peran sebagai subyek ikutan. Mengambil peran sebagai pembuat opini, berkaitan dengan pikiran, perasaan dan pemikiran kita pribadi. Disinilah kita dihadapkan pada masalah baru berkaitan dengan contoh tersebut, sebab perubahan konteks, akan menyebabkan perubahan analisis dan pemikiran serta berpengaruh pada perasaan masing-masing subyek ikutan. Sebagai subyek ikutan, dalam hal ini pembaca, maka opini yang lahir dimungkinkan berupa sebentuk kalimat, sebagai pendengar maka opini yang lahir dimungkinkan juga akan sama dengan subyek ikutan yang pertama. Bagaimana jika konteksnya dibawa pada wahana perkumpulan dengan subyek ikutannya adalah majelis.
Disinilah perubahan konteks itu menjadi semakin jelas pengaruhnya pada pembentukan opini, sebab di dalam sebuah majelis setiap hal mungkin tidak dipahamkan hanya sebagai sekadar kalimat saja, melainkan sebentuk fenomena. Ya, sekali lagi fenomena.
Ketika seorang pembaca membaca sebuah kalimat, ketika seorang pendengar, mendengarkan sebuah penuturan, bagaimana dengan ketika sebuah majelis memahami sebentuk fenomena. Di sinilah peranan ketaksaan berpikir, sebab, ketika sebagai seorang pembaca dan pendengar, arahan opininya kepada pembentukan wacana. Berbeda dengan majelis, yang diharapkan dapat memahami sebagai sebentuk fenomena, sehingga selanjutnya bisa mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan fenomena yang ada.
Artinya, ketika majelis mengarahkan pembentukan opininya sama kepada dua subyek ikutan di atas, dalam hal ini menghasilkan wacana, maka majelis tersebut tak ubahnya sebagai “sekedar” pembaca dan pendengar dan kehilangan apa yang disebut sebagai sense of belonging. Sense of belonging sebuah majelis sangat diperlukan untuk membentuk kepentingan tertentu. Dengan sense of belonging majelis pada fenomena, maka akan mengarah kepada pembentukan sense of urgency, orang per-orang. Berkait dengan konteks kalimat tadi, maka sense of urgency-nya dapat berupa, usaha memberi atau mencarikan pertolongan. Akan mungkinkah, menindaki sebuah fenomena, berkaitan dengan konteks “berdarah”, dengan “hanya” memunculkan sebuah wacana.
Sebagai contoh lagi: Ketika seorang ibu akan berbelanja, dia mencari berbagai informasi berkaitan dengan tempat dia bisa mendapatkan produk yang dia inginkan dengan harga yang murah. Dia bertanya ke beberapa sumber, dan mengecek harga langsung ke toko-toko. Salah seorang dari kenalannya memberi sebuah leaflet tentang informasi discount di sebuah toko berkaitan dengan produk yang dikehendaki. Ibu tersebut, sebelum melakukan pembelian, kembali dia mengecek ke beberapa kenalannya yang lain, setiap kenalannya mengatakan yang sama dengan kenalannya yang pertama, yang memberikan leaflet tentang discount di sebuah toko, sebut saja toko itu adalah toko X. Hingga akhirnya ia mengambil keputusan untuk membeli barang di toko X tersebut. Sepulang dari toko X, di sebuah angkutan kota yang ramai dan penuh sesak, ibu itu bertemu dengan seorang penumpang yang membawa barang, sama persis dengan produk yang baru saja dibeli-nya, terjadilah percakapan.
Ketika terjadi percakapan antara si ibu dan penumpang angkutan itu, konteks tercipta, semua yang berada pada saat itu, saat itu di dalam angkutan kota, sebagai substansi. Jelaslah, bahwa antara substansi dan konteks saling berhubungan, dalam mengarahkan ke pembentukan opini. Si penumpang sebagai penutur opini, memberikan wacana pada si ibu, sebagai subyek ikutan, si ibu menjadi pendengar. Dari penuturan si penumpang, si ibu mengerti ternyata dia membeli produk dengan harga yang lebih mahal ketimbang si penumpang itu. Dengan sendirinya terbentuklah pemikiran di dalam benak si ibu, dan para penumpang yang lain, sebab saat itu angkutan itu penuh sesak.
Jika saat itu, tidak ada penumpang lain, dalam hal ini pihak ketiga. Yang turut menyampaikan wacana baru, maka pada saat itulah proses pembentukan opini dari subyek ikutan pendengar menjadi majelis, berhenti. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, proses pembentukan opini akan terus berlanjut, dan munculah wacana baru. Demikian selanjutnya dengan hadirnya wacana baru tadi, maka terbentuklah perkumpulan, atau lebih tepatnya sekumpulan. Sekumpulan orang itulah yang menjadi majelis, dan ketika majelis itu mengkaji (membicarakan) tentang fenomena, berdasar atas pengalaman ibu itu dalam membeli sebuah produk, di sebuah toko tertentu maka pada waktu itu terbentuklah sense of belonging pada majelis itu.
Pada kejadian selanjutnya, ketika ibu itu turun dari angkutan kota. Pulang ke rumah dan membicarakan pengalamannya dengan orang lain, ini yang disebut dengan sense of urgency. Dengan kata lain sense of urgency, dapat juga diartikan dengan sebuah kesan yang diterima oleh subyek sebagai bagian dari kristalisasi atas pengalamannya selaku individu atau pribadi tertentu sebagai bagian dari sebuah majelis.
Cerita di atas tadi hanya salah satu contoh, berdasar pengalaman seseorang, sekedar contoh untuk lebih memahami sebelum kita beranjak kepada pembahasan lain yang lebih mendalam, tentang ketaksaan berpikir, serta apa peranannya dalam menghadapi segala macam kemajemukan kehidupan.
Kita sampai di tengah jembatan
Ketika kita memulai memasuki jembatan ini, kita telah di hadapkan pada pembahasan, pertanyaan, dan contoh-contoh. Kini kita telah sampai di tengah jembatan. Mari berhenti sejanak, mungkin untuk minum, dan menikmati pemandangan dari tengah jembatan, sungguh indah ada sungai yang melintas di bawahnya. Sedikit panas memang keadaan jembatan ini, namun tidak masalah. Semuanya terbayar dengan indahnya pemandangan, lagi pula ini sudah sore, cahaya mentari sore yang terpantul ke permukaan air sungai, menjadikannya kelihatan lebih indah, dan berwarna keemasan. Seorang ibu mendekatiku, ternyata ia adalah si ibu di angkutan kota itu (ingatlah kembali cerita tentang seorang ibu yang membeli produk di toko X).
Bercerita ia kepadaku, sekian waktu setelah ia turun dari angkutan kota dan menceritakan kisahnya pada orang lain tentang pengalamannya dalam membeli sesuatu (ternyata ia membeli wajan dan panci). Beberapa orang kenalannya yang telah mendengar penuturan si ibu itu, ia menjadi lebih berhati-hati dalam membeli atau mencari informasi jika akan membeli keperluannya. Beberapa dari mereka bahkan ada yang sampai mesti melakukan survey pasar, wow, ujarku dalam hati. Betapa dahsyatnya pengaruh opini, pikirku. Selain itu, lanjutnya lagi. Toko X, tempatnya membeli wajan dan panci menjadi marah karena ia telah menuliskan pengalamannya berbelanja di sana di email. Ia sampai harus mendekam selama beberapa hari di penjara, alasan dari managemen toko adalah apa yang telah di sampaikannya merugikan mereka.
Begitulah opini, sepenuhnya menjadi milik subyek ikutannya. Apakah itu pembaca, pendengar ataupun majelis. Dan majelis itu majemuk, tersusun atas dasar pemikirann individu yang heterogen, yang berada dalam konteks yang selalu dinamis, meskipun secara substansial sama.
Disini kita menemukan sesuatu yang mendasar, sebagai kata kunci, pikiran. Pikiran adalah senjata kita manusia dalam memecahkan setiap persolan. Ketika kita memfungsikan pikiran kita, di dalam saat itulah kita sedang berpikir, berpikir adalah kata kerja, berpikir adalah tindakan menuju sebuah pemikiran. “Cogito Ergo Sum”, “saya berpikir maka saya ada”, kata Rene Descartes. Berpikir menjadi salah satu penanda kemanusiaan kita, berpikir mengarahkan kita pada penyelesaian persoalan-persoalan dan tantangan kehidupan, berpikir menjadikan kita “ada”, kita ada karena kita berpikir.
Begitulah tentang berpikir. Dan lalu apa itu ketaksaan berpikir? Di dalam buku “Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik”, ada sebuah penjelasan yang mengarah pada penjelasan tentang kata ketaksaan itu sendiri, di dalamnya disebutkan, “pengetahuan sintaksis tidak hanya menetapkan mana yang gramatik dan mana yang tidak gramatikal, tetapi juga menjelaskan tentang tafsir ganda atau ketaksaan (“ambiguity”). Pada bahasan ini yang menjadi pijakan adalah pada kalimat, “tetapi juga menjelaskan tentang tafsir ganda atau ketaksaan (ambiguity )”. Dengan demikan, ketaksaan berpikir dapat dimaknai demikian, memfungsikan pikiran dengan berdasar pada tafsir ganda, sekali lagi afirmatif, subyektif dan abstrak. Bagaimana bisa begitu? Bagaimana bisa sesuatu yang bertafsir ganda dijadikan dasar pemfungsian pikiran? Sebuah pertanyaan lagi!
Sebagaimana di awal tadi kita melakukan pembahasan tentang opini, dengan mengangkat berbagai contoh dari kehidupan sehari-hari begitupun untuk pembahasan ketaksaan berpikir ini. Kita akan mencoba megangkat lagi sebuah contoh dari kehidupan sehari-hari. Contoh ini berdasar pada pengalaman saya sendiri.
Begini, siang itu terik, saya baru saja turun dari bis antar kota dan sedang dalam perjalanan dari terminal menuju ke tempat kost. Jarak antara terminal bus dan tempat kost saya kurang lebih tujuh ratus lima puluh meter jauhnya. Waktu itu bertepatan dengan berakhirnya jam sekolah. Jalanan ramai, dengan celotehan dan anak-anak sekolah menengah pertama yang berjalan kaki, di ujung jalan itulah sekolah mereka berada. Otomatis saya harus bersimpangan dengan kerumunan anak-anak itu. Sangat ramai dan tentu saja macet. Tinggal beberapa ratus meter lagi saya akan tiba, setelah berbelok dan menuruni jalanan ini saya akan tiba di tempat tujuan saya. Saya lelah ingin segera rebahan, namun seseorang menghampiri saya tepat di belokan terakhir itu. Bapak-bapak, berusia paruh baya, tampak lelah dan binggung. Ia mengutarakan maksudnya, ia membutuhkan uang untuk pulang kembali ke rumahnya di luar kota. Ia kehabisan uang, sedianya ia akan memberikan pakaian gantinya jika saya bersedia meminjami (memberi)-nya uang untuk ongkos pulang, terbersit di “pikiran” saya berbagai “wacana”, dari bermacam “opini” yang pernah saya dengar tentang orang asing dan untung ruginya jika menolong.
Pertemuan itu tidak berlangsung lama, saya berlalu dengan memohon maaf, serta menyampaikan alasan kenapa saya tidak dapat membantunya. Saya berlalu dan segeralah saya sampai di rumah. Saya sampai di tempat kost saya, membuka pagar dan pintu lalu masuk, sebuah kesejukan menyeruak, seperti belaian angin yang lembut saya rasakan membelai wajah saya, penat yang menemani sepanjang perjalanan hilang. Melepas sepatu, mengambil gelas, menuju dispenser dan mengucurkan air ke dalamnya, saya minum. Terasa segar sesudahnya. Saya duduk dan “berpikir”, tentang apa yang baru saja saya alami. Saya berpikir tentang bapak itu tadi. Sekali lagi bermacam “opini”, dan “wacana” menyeruak ke benak saya. Teringat saya pada “pengalaman” saya sendiri, yang hampir sama dengan yang dialami oleh bapak tadi. Bahwa pada suatu hari sayapun pernah berada di sebuah tempat yang jauh dari rumah, tanpa bekal, dan sendirian. Bingung dan tidak tahu harus berbuat apa? Saya hanya duduk di tepi jalan memandangi orang-orang yang melintas. Sampai akhirnya ada seorang ibu yang menghampiri saya. Bertanya ia pada saya, mengapa saya tampak bingung dan bersedih. Saya ceritakan semua padanya, saya ceritakan bahwa sebenarnya maksud saya datang ke sini adalah untuk bermain ke rumah teman, ternyata teman yang saya kunjungi sedang tidak ada di rumah. Jadilah saya di sini, bingung, sendiri dan tidak tahu harus berbuat apa.
Ibu itu berkata,”maukah kamu saya bantu?”, saya menolak. Saya menganggap lebih baik saya di sini dan menunggu teman saya itu. Berkata ibu itu lebih lanjut, “jika saja teman kamu pulang lebih cepat sepertinya tidak jadi masalah untuk kamu menunggu, tapi jika tidak, sampai kapan kamu menunggunya, lagi pula ini akan hujan”, saya terhenyak mendengar penuturannya, saya baru menyadari betapa bodohnya saya, saya datang jauh-jauh tanpa pemberitahuan lebih dahulu, tentu saja hal ini terjadi. Saya tidak menjawab, hanya terdiam. Ibu itu mengulurkan selembar uang, cukup untuk saya pakai pulang ke rumah, saya hanya memandangnya, ia berkata,”ambillah, ini akan cukup untuk ongkos kamu pulang”. Saya menerimanya mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi.
Dengan demikian, saya berhenti “berpikir” dan “memutuskan” segera keluar dari kost dan pergi ke tempat saya bertemu dengan bapak-bapak tadi. Si bapak masih di situ, ia duduk di pembatas jalan tepat di tempat saya membelok sebelum menuju ke kost. Saya hampiri ia, saya ajak berbicara dan bertanya apa maksudnya datang ke sini, ia kenalkan dirinya. Dan ia mengatakan bahwa maksudnya kemari adalah untuk mengantarkan barang yang telah dipesan oleh salah seorang penghuni di kawasan tempat kost saya. Namun ternyata si penghuni itu telah pergi sebelum si bapak tiba di sana. Jadilah begini ia sekarang, kebingunggan dan tidak bisa pulang. Sebab ia berharap akan memperoleh ongkos pulang dari pembayaran atas barang yang telah ia antar ke situ. Saya tawarkan untuk membantu, ia menolak. Saya jadi binggung kenapa, padahal semula ia yang meminta saya untuk membantunya, memberi ongkos untuk pulang. Saya katakan padanya bahwa saya pun pernah mengalami masalah yang sama, sebagaimana yang sedang ia alami sekarang, dan karenanya tidak ada maksud lain sama sekali selain hanya ingin membantu. Sebab saya “pernah merasakan” sebagaimana yang ia alami dan “ber-kepentingan” saat ini untuk membantu dirinya, hanya itu. Setelah mendengar penjelasan saya tadi barulah ia mau menerima uang itu. Ia mengucapkan terima kasih dan kami pun berlalu ke arah yang berbeda.
Marilah kita teruskan pembahasan tentang ketaksaan berpikir. Ketaksaan berpikir, dapat dimaknai memfungsikan pikiran dengan berdasar pada tafsir ganda. Dengan demikian, jika kita merujuk pada contoh di atas, dengan fokus pada kata yang di letakkan di antara tanda kutip, maka yang dimaksudkan tafsir ganda adalah adanya penggunaan hal lain sebagai perbandingan bagi pikiran kita di dalam berpikir sebelum memutuskan (mengambil keputusan). Sebagaimana contoh di atas maka apa yang di-perbanding-kan oleh pikiran adalah opini/wacana dengan pengalaman, sehingga memperoleh keputusan yang kemudian lalu ditindaki.
Akhirnya
Pada gerbang di awal tadi, membaca sebuah penuturan dan memoar. Memasuki sebuah jembatan dengan pembahasan yang berbelit mencoba memecahkan setiap hal dengan metode affirmatif. Affirmasi itu dilakukan bukan untuk menjebak apalagi mempersulit, hanya sebagai usaha menemukan metode baru guna menemukan makna kata dari kata itu sendiri. Berada di tengah jembatan, mencoba terus berjalan hingga ke seberang dan akhirnya. Inilah akhirnya.
Kita semua, kita semua adalah sekumpulan mahkluk hidup dengan jenis manusia. Manusia sebagai mahluk hidup memiliki ke-khas-an dan ciri tersendiri yang membedakannya dari mahluk hidup yang lain. Paling mudah untuk melihat ciri-ciri itu adalah dengan mengamati tanda-tanda pembagian entitasnya. Aku, kamu, kita, mereka, kalian, kalian semua adalah sebuah penanda untuk menyebut pembagian itu. Aku berbeda dengan kamu, namun sama terbangun dari satu, tunggal, individual. Kita, kami, mereka, berbeda dengan kalian, kalian semua, anda sekalian, namun sama terbangun dari jamak, lebih dari satu dan kumpulan individual.
Tanda-tanda semacam inilah yang menjadikan manusia benar-benar khas dan berbeda satu sama lain, individu per-individu, orang per-orang, kelompok per-kelompok. Dengan kata lain setiap penanda kemanusian itu sama namun manusia itu berbeda-beda, bergolong-golong. Inilah kemajemukan itu, setiap halnya sama secara substansial, secara kemanusiaan namun berbeda dalam pemikiran dan perasaan dalam kepentingan dan tindakan. Namun pada dasarnya tidak ada yang benar-benar menjadi garis pembatas dan dasar atas penyebutan kemanusiaan itu sendiri, kemanusiaan itu satu, manusia itu berbeda-beda dalam ciri-cirinya yang manusiawi. Kita sama-sama merasa, berpikir, berkepentingan dan bertindak berdasar ke-manusiawi-an kita masing-masing. Kita sama bersedih, berbahagia dan mengekspresikannya, hanya berbeda dalam cara untuk bersedih, berbahagia dan berekspresi. Setiap hal yang berada dalam nilai kemanusiaan, menjadi sangat manusiawi dan manusia.
Tetapi kemanusiaan itu terkungkung, terlingkupi oleh pemahaman tentang manusia yang mencari ke-manusiawi-an. Setiap hal yang berada dalam buku besar kemanusiaan, mencatatkan tentang kepentingan ke-manusiawi-an tertentu sering bertabrakan dengan kemanusiaan.
Apakah itu untuk mendapatkan rasa aman, memperoleh penghidupan, menyenangkan dan rekreatif. Apakah itu untuk mendapatkan pengakuan dan pernyataan bahwa kita telah diakui manusiawi (memiliki ciri-ciri manusia), apakah itu untuk menemukan jawaban dari keresahan. Itu semua adalah sangat-sangat manusiawi. Namun yang harus disadari kemanusiawian itu adalah bagian dari kemanusiaan, semakin memburu ciri utama dari sesuatu hal, sebenarnya pokok yang menjadi tujuan dari sesuatu hal itu sering terabaikan.
Tidak ada sesuatu hal yang salah di dalam ke-manusiawi-an, manusia. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang boleh mengabaikan itu, karenanya di dalam sini, opini; sebagai salah satu cara manusia mengungkapkan pemikiran, ketaksaan berpikir sebagai salah satu alternatif cara mencapai pemikiran, coba dijelaskan. Namun kita berhadapan dengan kemajemukan, yang merupakan salah satu ciri kemanusiaan selain ke-manusiawi-an dan banyak ciri kemanusiaan yang lain. Di dalam kemajemukan ada perbedaan dan persimpangan ada, keberbedaan tafsir dan golongan ada berbagai daya, dan kepentingan yang saling berpendar. Di dalam kemajemukan ada heterogenitas, perbedaan definitif sesuatu terhadap sesuatu yang lain, terdapat multiversitalitas dan nilai yang seringkali berbeda. Di dalam kemajemukan ada therma-therma berlainan, di dalamnya ada sebuah therma yang menyatakan kita “boleh memahamkan seseorang tentang diri kita. Yang tidak boleh adalah memaksakan mengubah seseorang seperti kita”. Di dalam kemajemukan ada “kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda”, dan banyak hal lain. Karena itulah “ketaksaan berpikir” ada.
Begitulah hidup dan kehidupan, demikian ijinkan saya kembali kepada sebuah pertanyaan di awal, “pernahkah terpikir tentang air, tentang tanah, batu, udara, dan sinar matahari?” Dan lalu kepada pertanyaan yang lebih mendalam lagi, kenapa saya ada, kenapa anda ada, kenapa kita ada, kenapa mereka ada?
Kenapa ada ada, kenapa manusia ada, kenapa saya manusia?
Demikian ini bahasan saya, sebagaiman judul dari tulisan ini adalah “surat dari aku untuk aku” semuanya berpulang balik seutuhnya kepada setiap diri. Kepada setiap pemikiran dan perasaan, dan kepada setiap kemanusiaan dan sesuatu yang memenuhi ciri-cirinya.
Sebagai akhir, maka akan dilanjutkan apa yang menjadi contoh cerita tadi.
Sepulang dari menemui si bapak tadi, selepas kami berpisah ke arah yang berbeda. Saya kembali ke kost, melewati jalan yang sama. Angin berhembus perlahan, matahari sore bersinar lemah, kerumunan anak-anak sekolah yang aku temui tadi juga sudah mulai berkurang.
Aku menuruni jalan dan sampai di depan tempat kost, membuka pintu pagar. Senyampang ada perasaan aneh berkelebat di dada, terasa hangat. Aku tidak mengerti, entah. Kubuka pintu pagar dan segera masuk, menukar pakaian. Aku lelah ingin tidur, mengambil bantal meletakkannya di kursi, merebahkan punggungku. Aku terlelap pulas.
Malang, 18 November 2009
0 Komentar