Mengucurkan rindu pada penggembalaan kehidupan
Mentahbiskan waktu pada pengetahuan kematian
Pada gagak yang berkaok di ujung petang
Pada manyar-manyar yang berterbang di pucuk-pucuk daun tebu
Pada lengguh kerbau yang mendayu,
Merindu kicauan jalak terakhir menepis kutu-kutu,
Sembari ia mengunyah rerumput yang renyah

Demi cinta para pujangga
Di dendang langkah-langkah penumpang,
Pada stasiun-stasiun yang hampa
Dan wajah-wajah lelah penjaga peron
Hilir mudik menyapa hari
Aku bersyair engkau bermadah,
Dan di sudut-sudut ruko
Pada wajah para penjaja buku-buku bekas
Tersirat gumpalan-gumpalan ketaksaan para pecinta
Yang hingga kini masih mengendap
Mengendap pada lelah peradaban dan angkuh adab penjaja pengetahuan
Pada lelah sudut-sudut aspal
Pada kubangan dan genangan
Pada ujung kanal yang mampat
Pada lintas truk dan angkot
Pada setiap yang bertanya dan tak terjawab
Aku musti bersyair dan engkau musti bermadah, lagi
Sebab kita mesti memberi, kini
Aku bertanya dan menjawab
Dengan lelah dan derap
Dengan gumam dan bosan
Pada setiap yang berderap kita melipur,
Sebab duka dan suka peradaban ini membuat hati berkapur
Dan bait-bait syair yang terbang ke muka-muka majelis
Tak terulis dan berhenti tergaris
Rembulan keperakan aku dan kamu menjadi kita
Aku bersyair engkau bermadah
Dan kabut tipis yang turun di tidur malam itu
Mengantar bayang lain tentang ku padamu
Tak mengapa sebab itu kabut musim hujan,
Sebab ini musim hujan
Kabut selalu datang
Namun kabut tak kan datang di penghujung panas yang kerontang
Pada sahabat aku sampaikan,
Pada setiap syair, dalam gaung madah
Ini masih musim hujan kawan,
Ada banyak kabut yang datang ke tidur kita di setiap malam
Tunggulah hingga musim panas,
Kerontang akan menghapus segala kabut pada mimpi yang menghinggapi
Dan panas akan mengusir setiap kepastian,
Tak bisa engkau bertanam
Jika henti engkau menyiram
Krian, 17 Januari 2012
“Mengantar Madah Kepada Kawan, Dora dan Sembada berjalan bersama”
0 Komentar