Species manusia menjalankan hidupnya, menanamkan kesadaran
agar tercetak dalam buku besar perputaran waktu, ber/di/mengaktualisasikan
dirinya.
Dalam
wujud gerak, dinamika serta revolutika kediriannya secara psikis maupun
jasmani.
Adanya
keterbatasan (immortality) membuat manusia mesti berkejaran dalam
sejarah panjang peradaban dan perikemanusiaan yang tidak akan pernah
berkesudahan.
Kita
manusia sebagai salah satu dari alat kehidupan secara makro dan mikro memang
berkodrat untuk ”hidup” menempuh perjalanan panjang yang tidak akan pernah
berujung, semakin kita tempuh semakin panjang semakin bercabang.
Nya.
Sebuah
pertanyaan kecil yang mesti kita jawab, dari mana kita berasal? Dalam artian
adakah seseorang yang pernah hadir di dunia ini mempunyai atau setidaknya
memiliki gambaran, ingatan secara kasat mata tentang dari mana, pada kuantum
mana kita berasal serta seperti apa tempat kita berasal, seperti apa tanahnya,
adakah hujan “di sana” dan bagaimana bentuk geografisnya, bagaimana
reliefnya secara meruang dan mewaktu.
Adakah
yang mempunyai secuil ingatan tentang itu.
Dalam
perjalanan waktu, “semestinya”, menjadi kata yang selalu hadir. Semestinya saya
begini, semestinya laki-laki itu tidak menangis, semestinya wanita berdandan,
semestinya laki-laki perkasa, semestinya wanita halus lembut keibuan, dan
semestinya kita menyelesaikan yang kita kerjakan. Semestinya seorang yang
bersalah menebus kesalahannya, semestinya a itu a, b itu b, c itu c, dan seterusnya dan seterusnya.
Kalau
kita berpikir dalam lingkup yang “semestinya” tidak menemukan cinta. Karena
cinta itu tidak pernah semestinya dan cinta itu tidak mengerti mestinya. Cinta
hanya mengerti adanya. Cinta hanya tau maknanya, cinta hanya tahu alasnya,
kenapa cinta, kenapa yang penuh makna. Alih alih cinta melakukan yang mestinya
cinta, malah berbuat semau dirinya. Ada ungkapan, “alih-alih membuka hati
cinta, malah lebih sering menutupnya”*. Alih-alih menemukan cinta malah
menyembunyikan.
Begitulah
mungkin alasan mengapa Tuhan itu sendiri menghapus ingatan kita tentang asal
kita, tentang bagaimana keadaan tempat kita berada sebelum kita mewujud sebagai
manusia seperti sekarang ini. Sebab Ia menginginkan kita benar-benar hidup,
mengada, sebagimana kita, sebagaimana kehendak dan pikiran kita. Sebab mungkin
jika ingatan tentang itu tetap ada kita akan tetap terkenang dan melamunkan
tempat itu melamunkan entah tentang keindahannya atau kesusahannya. Jika kita
terkenang keindahan maka keindahan itu menjadi tujuan, tujuan lamunan, jika
terkenang kesusahan kita tidak mengharapkan lagi berada dalam kesusahan itu.
“When
u love someone ull do everything.
Ull
do all the crazy thing that u can couldnt explain”……
Itulah
salah satu nukilan syair lagu Bryan Adams, sang pengubah melukiskan dengan
sangat melankolis, bahwa ketika kita jatuh cinta betapapun kondisi kita,
seringkali kita melakukan hal yang di luar kebiasaan, di luar yang semestinya,
bahkan tidak mungkin kita menjelaskan dengan kata-kata. Repotnya hal itu sering
menjadi bumerang, sebab kehidupan secara empiris mempersyaratkan, semestinya
kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari sesuatu yang makro, kita adalah
mikronya. Kita adalah pixel dari lebarnya kelir kehidupan,
kita takterpisahkan dan terikat aturan, itulah adanya dan tak mungkin juga kita
pungkiri. Hidup adalah sistem dan sistem itu mengikat, dan sistem itu
sangat-sangat semestinya.
Tidak
ada sistem yang tidak mestinya, karena yang tidak mestinya pasti bukan sistem.
Tanpa kata mesti sistem itu tidak bekerja dan jika sistem itu tidak jalan maka
hidup itu sendiri tidak ada, sebab ada itu mesti, wajib dan mesti itu sistem.
Maka kenapa kita tidak mempunyai ingatan tentang masa-masa kita berada dalam
rahim, adalah karena kita terikat sistem. Masa-masa ini kita begitu heboh
dengan cinta sebab cinta yang kita hadirkan dan kita sistemkan dalam masyarakat
kita adalah cinta yang semestinya. Bukankah cinta itu juga adalah sistem? Ya,
cinta itu adalah sistem. Cinta itu adalah sistem yang tidak pernah
“semestinya”, cinta yang semestinya adalah sekedar kata. Dalam fonetiknya
berarti ungkapan saja.
Tanpa
makna dan berdegradasi rasa, sekedar seperti ungkapan “minta garam!”. Perhatikan
tanda serunya, tanda seru berarti semestinya.
Tipologi
berpikir masyarakat modern adalah semestinya, 1+1=2, itu matematika dan kita
diajari cara berpikir itu sejak belum tumbuh gigi susu. Itu contoh mudah untuk
mengerti kenapa kita tidak menemukan cinta, tidak perlu heboh karena itu
juga sudah “mestinya”. Maukah kita disuruh untuk menerima jalan pikiran 1+1=
tidak selalu (2), jika mau kita akan tidak “semestinya”, tapi jika tidak mau
juga tidak apa karena itu sudah mestinya dan harusnya. Memang kita harus
menerima, karena sama dengan itu adalah menyama-dengan-kan, dan
menyama-dengan-kan itu adalah semestinya, dalam bahasa matematika. Saya bisa
mencontohkan, jika 1+1 tidak saya =kan 2, pasti ujian matematika saya dapat
jelek, tidak lulus dan tinggal kelas, mengulang dari awal dan ikut ujian lagi.
Cinta
adalah kalimat aktif, cinta adalah kalimat aktif saya ulangi, dan cinta adalah
bukan sama dengan. Sebab, aktif itu bukan sama dengan, karena sama dengan
dibutuhkan diawal, sama dengan itu adalah drivernya logika, drivernya otak kita
sekarang ini, itu berarti otak kita penuh dengan sama dengan yang notabene,
“sama dengan saya sama dengan kamu”. Kamu sama dengan saya.
Namun
saya pribadi heran kenapa keluarga saya itu ada lima padahal saya pelajari dari
sajarohnya, dari pohonnya, adalah berdasarkan rumus 1+1 kenapa tidak jadi 2,
kenapa 5? Kalau saya Tanya ke bapak saya jawabnya; “Cuma karena dia cinta
dengan ibu saya”. Jadi kalau begitu tidak (selalu) ada sama dengan 2, meski
persamaannya 1+1. Itu dalam urusan cinta. Sebab cinta tidak butuh sama dengan,
tidak butuh driver tidak butuh sistem, cinta itu mengudara seperti gelombang
radio saja. Karenanya siapa saja mampu menangkapnya.
Sebab
notabene otak kita berada dalam frekuensi yang mampu menangkapnya karena kalau
tidak, tentu saya tidak lahir sebab saya anak ketiga dari tiga bersaudara yang
berasal dari satu bapak dan satu ibu saja. Saya mungkin gila atau entahlah
berpenyakit jiwa apa, tapi saya yakin bahwa anggota keluarga bapak saya adalah
lima yaitu bapak saya, ibu saya, kakak saya, kakak saya dan saya. Repot
sekali membuat persamaan tentang cinta tapi kita yang masih mahluk pasti
pandai membuatnya, cinta+cinta= cinta, atau cinta-cinta= tidak ada cinta.
Akan tepat kalau disebut bahwa itu ngawur, membuat persamaan itu secara displin
ilmu apa saja.
Tapi
saya yakin kalau keluarga saya punya lima anggota, paling tidak itu yang ada
dalam Kartu Keluarga saya dan Kartu Keluarga itu bertanda tangan Lurah saya,
Camat saya, Bupati saya, Presiden saya. Tapi saya tidak tahu lagi kalau KK itu
palsu atau bohong, ya saya anggap saja mereka pakai persamaan yang kedua, habis
perkara.
Malang, 2 September 2009
Ramadhan H
0 Komentar