Sore 13 Agustus 2009,  



Saat mengantarkan teman ke bandara Juanda.  Sore itu panas, bersama di dalam mobil dua orang dalam kepulangan selesai sebuah tujuan. Aku pengemudi dan ayah penumpang yang duduk di kursi samping. Keluar lahan parkir ia menyeletukan, “panase koyo ning neraka”. Dalam bahasa jawa, timuran ia berkata. Dalam kata itu terbersit sebuah alegori betapa sebuah tempat di dunia bisa seperti di dalam neraka.

Di dalam neraka, ya di dalam neraka. Setiap hari segala penat yang bergelanyut di pundak sering kali membuat kita mengeluhkan betapa hidup kita seperti di dalam neraka. Dalam tataran bahasa manapun dan dengan dialek apapun kita selalu menyatakannya setiap segala hal yang terasa sangat berat membuat kita memetamorf-kan-nya dangan ke-ada-an di dalam neraka . Hadirnya kata “panase koyo ning neroko” adalah salah satu ungkapan, ya sebuah ungkapan alegori tentang rasa panas dalam sebuah kondisi lingkungan tertentu. 

Kata itu terstimulus oleh artmosfir lingkungan dalam setting sebuah bandara. Sekedar untuk mempermudah bayangan sebelum memasuki dimensi imaji tulisan ini bandara itu tersebut dengan nama, Juanda. Juanda adalah bandara internasional milik pemerintah.

Marilah kita mulai, bandara itu didirikan di atas tanah seluas kurang lebih 300 hingga 500 hektar, panjang runway 1500 meter, memiliki sejumlah hangar, dua  departemen keberangkatan dan kedatangan dan ruang tunggu penumpang, anjungan pengantar dan, tanah lapang sebagai lahan parkir. Setting luar dari bandara ini menjadi tempat dimana pengungkap pernyataan “panase koyo ning neroko”, setting luar tepatnya di gate pintu keluar.

Lingkungan luar bandara ditumbuhi pepohonan yang hanya beberapa, dan tumbuhan itu setingi  kurang lebih dua meter yang baru ditanam dalam pengusahaan untuk meneduhkannya. Berhenti sampai di situ saja kita tidak sedang berbicara, menyoroti serta mengkritik pemeliharan lingkungan bandara. Penjabaran diatas sekedar untuk pengetahuan  konteks dimana pernyataan “panase koyo ning neroko itu muncul. Gambaran-gambarannya sekedar stimulus imaji.

“Panase koyo ning neroko”, kata ini adalah ungkapan bahasa jawa dialek timuran. Tranliterasi  dalam bahasa Indonesia menjadi “Panasnya seperti di neraka”. 

Dan judul tulisan ini adalah Gersangnya sebuah bandara dan Neraka dari sisi lain.

Gersangnya sebuah bandara saja, terkadang sudah menjadi stimulus kita mengutarakan pernyataan-pernyataan yang mengambarkan betapa sengsaranya berada dalam lingkungan dari objek yang ditunjukan oleh kata “neraka”. Neraka dalam ranah teologi memang digambarakan sebagai tempat yang penuh kesakitan, penderitaan, kepedihan, siksa dan tangis. Sebuah tempat yang intinya penuh dengan kepedihan.

Neraka berdialektik dengan surga, surga begitu indah dan diharapkan setiap nyawa yang hidup akan diami setelah mati. Surga menjadi harapan ganjaran, sehingga banyak kebaikan di stimulus olehnya. Sekitar 3 minggu yang lalu sebuah bom meledak dan disengaja oleh manusia tertentu yang juga (mungkin) berharap ganjaran indah sesudah matinya, ganjaran itu adalah surga.

Sebuah bom yang bagi orang yang berada dalam situasi ledakannya akan merasa seperti dalam neraka. Namun bom itu dibawa, dan atau, entah terbawa oleh manusia yang  (mungkin), juga berharap surga.

Belum pernah aku berada dalam situasi ledakan bom, namun situasi panas gersangnya sebuah bandara sudah membuat seseorang menyatakan “panase koyo ning neroko”, situasi lahirnya kata itu dalam lingkungan yang diusahkan untuk di buat seaman, seindah dan senyaman mungkin, buktinya sudah ditanam pepohonan. Setting lahirnya kata itu juga sangat wajar saat itu siang beranjak sore, matahari setengah condong tentu panasnya menyengat.

Situasi ledakan bom dan panasnya kondisi sebuah bandara sama-sama menunjukan betapa fisik manusia bisa menderita karena situasi tertentu. Namun sepertinya jiwa tidak merasa itu, saat seperti itu kata menjadi ungkapan rasa fisik belaka. Bagi si pengungkap “panase koyo ning neroko”, kata menjadi perwujudan rasa fisiknya yang terasa gerah. Dan bagi orang-orang yang terperangkap dalam ledakan bom ungkapan “tolong” adalah perwujudan rasa putus asa dan ketakutannya.

Baik, kita sekali lagi harus berhenti, sebab tidak menemukan titik temu juga rupanya. Namun tunggu, mari kita lanjutkan lagi sebab sudah ada jalan terang, kita tentu temukan persamaan dalam setting lokasi yang mendasari lahirnya kata, pada kedua settingnya sama-sama terjadi fenomena yang tidak mengenakkan kondisi tubuh secara fisik. Kalau begitu (dengan muka berseri, suara mantap dan yakin) berarti neraka itu adalah segala sesuatu yang tidak mengenakkan dan membuat menderita, aku bertanya dan yakin itu benar.

Sekejap kemudian aku tidak yakin lagi. Sebab sepertinya ada yang janggal. Dimana tapi, akh ya aku mengerti itu ada pada pernyataan ini, “namun bom itu dibawa dan entah terbawa orang yang berharap surga”. Yah, itu berarti meski bom itu menjadi neraka bagi orang lain namun menjadi harapan surga bagi yang membawa. Kalau begitu tidak selamanya keadaan buruk bagi seseorang yang dianggap neraka sama dengan yang dianggap orang lain tentangnya.

Semua berawal dari fenomena, sebab setiap fenomena melahirkan makna. Makna tertentu yang ditangkap jiwa, yang di rasakan fikir yang di tangkap “hadir”. Dari fenomena itulah setiap hal berhasil di tangkap oleh kognisi kemanusiaan, setiap kognisi di terjemahkan ulang dalam kata. Yah dalam kata itulah keadaan itu mengejawantah. Apakah panas itu stimulus pengejawantah kata neraka, atau kekacauan akibat ledakan bom juga yang mendorong hadirnya? Entah, untuk sementara ini, sementara menjadi manusia, karena “si licet magnis componere parva”, “jika boleh menggabungkan hal-hal kecil dan hal besar-penerj”.

Manusia itu hadir dari penggabungan hal-hal kecil dan hal besar. Dari fenomena yang mendasar dan fundamental, dengan fenomena luar biasa dari tataran makro kosmik.

“Aut semel aut iterum generalaiter esto”*, “atau satu atau dua kali, yang tengah seharusnya berlaku secara umum-penerj”*.

Sehingga segala sesuatu yang terus terjadi di luar diri manusia itulah yang membentuknya menjadikannya siapa, atau seseorang.

Setiap pernyataan manusia menunjukan siapa dia, sebagai subjek atau penghadir statement, objek atau korban statement, predikat yang terpengaruh statement.


 “Panase koyo ing neroko” dan “tolong” adalah statement. Setiap statement yang saling berkesinambungan. Setiap subjek dari masing-masing statement sama terkait dalam sebuah fenomena. Keduanya sama-sama “de dicto”* akan sebuah pengalaman yang memfenomenasi diri masing-masing.

Ini berputar-putar dalam begitu banyak pembahasan namun ujungnya sama, bahwa setiap statement adalah pengejawantahan rasa di dalam si subjek. Namun bahwa tidak selamanya setiap statement itu adalah pengejawantahan rasa yang jujur atau mem-wakil-i subjektifitas si subjek, harus di ketahui di mana dan fenomena apa yang mendasari lahirnya statement itu sendiri.

Fenomena, rasa, subjek, subjektifitas adalah nilai universal. Nilai universal yang membangun kemanusiaan. Nilai universal yang berkesinambunagan terus menerus dengan hidup dan kehidupan. Tidak ada yang bisa ditinggalkan atau di kesampingkan sebab itu mengarah pada adanya saling pengertian dan tenggang rasa antar pelaku kehidupan. Hanya dengan mendengar setiap statement yang dari subjek lain manusia akan belajar menghargai setiap hal diluar dirinya.

“Qui non habet caballum vadat cum vede”*. Yang tidak punya kuda hendaklah jalan kaki. Yang tidak punya tahu hendaklah mengharapkan tahu.

Ketika mobil melaju dan panasnya sebuah bandara ini menyengat saya mungkin biasa saja, dan ayah saya mengatakan “ panase koyo ning neroko” sebuah tempat yang jauh sekali. Ketika seorang berjalan menjinjing tas berisi bom dan berharap bom meledak, langkahnya sangat ringan seperti seorang yang berharap hadiah besar yang nikmat dan kesyurgaan. Surga tempat yang juga jauh. Jauhkah surga dan neraka itu? namun kenapa sering terpikir dan terucap seakan masing-masing jiwa pernah berada di sana.

Bom meledak dan teriakan tolong membahana, mobil melaju lewati pohon besar bayangannya teduhkan suasana, akh sejuknya di dalam hati terbesit itu, ungkapan itu ,statement itu, yah nerakanya baru terlewati.

Malang, 2 September 2009
..Ramadhan…     

 *Novel “The Name Of The Rose” karangan Umberto Eco, Penerbit Bentang.
*Aut Semel Aut Iterum Generalaiter Esto-Atau satu Atau dua kali, yang tengah seharusnya berlaku secara umum-Penerjemah. Hal 305     
*De Dicto-Mengulang-Penerjemah. Hal 433
*Qui Non Habet Caballum Vadat Cum Vede-Yang Tidak Punya Kuda Hendaklah Jalan Kaki-Penerjemah. Hal 437
Penerjemah: Penerjemah Buku Tersebut