Pagi itu dingin, kabut tipis di udara. Mata lelah menahan kantuk, penyebabnya semalam-malam terjaga. Pagi  ini indah, tetapi aku lelah. Yang lebih menganjal lagi terjagaku bukan tuk hal produktif penting. Ya, bukan karena kebutuhan produktif penting, untunglah Tuhan ciptakan setan, ia bercokol juga disudut hatiku . berbisik setan padaku, tenang saja produktif tidak penting yang penting hepi. Yah benar juga aku menyetujui.

Aku teruskan langkah, perlahan, seorang nenek-nenek mendahuluiku. Sembari menanah kantuk, melangkah, nikmati pagi aku bayangkan jika ada secangkir kopi makin nikmat di rasa ini.

Di sudut itu, tertumbuk pandang pada sesuatu. Seorang lelaki tua, setengah sudah veteran dari masalah produktifitas dirinya tampaknya. Ia duduk, sebuah sepeda motor melintasiku, aku terkejut dari kantuk, ia tidak duduk rupanya sebab ini jalanan tentu kotor apalagi ini gang kecil tempat dimana begitu banyak mahasiswa indekost. Sebuah gang yang ramai, lebih tepatnya bukan jalanan tapi gang kampong. 

Aku coba tajamkan penglihatan, kepala ku goyang-goyang menghalau kantuk. Benar saja, kulihat ia memang tidak duduk namun berjongkok, di belakangnya mengalir sebuah selokan, airnya lumayan jernih namun memperlihatkan dasarnya yang belumpur campur lumut dan sampah plastik. Aku lihat ia menadahkan tangannya, ia meminta-minta jadi sebut saja, ia pengemis. Aku terus berjalan, kulalui pengemis itu sembari merogoh kantung jaketku dua keping receh kini di tanganku, sembari melaluinya kuberikan kepingan itu. Sembari memberikannya tentu aku menoleh, mataku menatap wajahnya, kulihat ia tersenyum. Ya, ia tersenyum. Ia pengemis yang tersenyum, aneh kantukku jadi hilang.

Aku rogoh lagi kantungku mencoba mencari lebih banyak keping uang untuknya sebab senyumannya telah menghilangkan kantukku. Namun sebab kakiku melangkah terus, aku telah jauh melintasinya.

Dalam kepalaku sembari memikirkan kopi di warung yang sedang kutuju. Aku berpikir apa yang menjadikan kantuk terbang dan hilang adakah senyuman pengemis itu yang telah merubahnya. Aku merasa tidak juga, adakah uang receh yang aku berikan membuat hatiku gembira, tidak juga. Lalu apa? Entah.      

Tanda Tanya yang muncul, tanda Tanya yang muncul sebab aku kehilangan rasa kantuk hanya karena memberikan dua recehan kepada seorang pengemis. Aku terus mendebat diriku bahwa yang menghilangkan rasa kantukku adalah senyumannya, dan kata batinku berteriak, hei enak saja. Si pengemis itu tua, tapi ia pengemis tua yang tersenyum. Debatku lagi. Si pengemis tua itu lelaki, hei tapi ia pengemis laki-laki tua yang tersenyum, sekali lagi aku mendebat diri ku. 

Kenapa lalu kalo ia laki-laki, kalau ia tua, atau kalau ia berjongkok di depan selokan, kalau ia menadahkan tangan, kalau ia merendahkan dirinya sendiri, paling tidak dengan berjongkok didepan sebuah selokan di keramaian sebuah gang kampong yang sesak dengan mahasiswa dan ibu-ibu, kalau ia dan lain sebagainya-dan lain sebagainya. Senyum tetap senyum tak perduli ia dalam kondisi yang tua mengemis dan berjongkok di depan selokan. Ia tetap tersenyum, ia tetap tersenyum meski ia mengemis dan berjongkok di depan selokan. Debatku pada diriku sendiri untuk yang terakhir kalinya.

Warung Sari sudah di depan mata, tujuanku, kopinya. Aku langsung memesan dan duduk di salah satu bangku. Di sini, menghadapi segelas kopi segar, dengan aroma yang meruap ke udara. Di tingkahi celoteh pengunjung lain, berbagai tema celotehan mereka. Dari kehidupan politik hingga rumah tangga, dari masalah kuliah hingga persoalan dinamika bercinta. Segala macam tema pembicaraan itu menguar ke udara bersama hilangnya suara.

Tapi aku sibuk sendiri, dalam lamunanku. Dalam awang-awang yang jauh sekali. Itu gambar pengemis masih seringkali terlintas di dalam pikiran.

Gambar, yang lebih tepatnya adalah bayangan, bayangan di mana pengemis itu jongkok dant tersenyum. Senyuman yang menyebabkan kantukku hilang. Senyuman yang mnguarkan rasa batin yang suntuk dan muak, muak dengan kegiatannku sendiri semalaman. Sekedar tahu, semalaman di dalam bilik internet. Aku mengakses segala macam hal yang aku anggap mungkin mampu mengakomodasi lelahku dari suntuknya segala macam realitas hidup. 

Mulai dari yang mengandung dzikrulah sampai yang sekedar melepas ketegangan menuju orgas. Begitu banyak juga teman yang melakukan hal yang sama, di situ di balik bilik internet. Ada game dan permainan, ada tipu-tipu cinta dan pengetahuan manfaat. Ada sekedar rndenvous hingga berbau putaran rupiah. Segala yang dicari, anything what I want.

Tapi segala hal itu malah menambah lelah, buktinya langkahku gontai dan mataku merah karena lelah. Buktinya aku malas sekali menyambut hari ini. Hingga aku bertemu pengemis itu. Pengemis yang tersenyum itu.

Pernah aku dengar dulu, “senyum adalah sedekahmu bagi kehidupan, ibadahmu yang termudah”. Hal itu aku dengar dulu sekali ketika aku masih di sekolah menengah.

Senyuman memang kadang bisa begitu berarti. Ada masalah yang bisa terpecahkan hanya dengan tersenyum saja, misalnya, ketika ayahku marah besar padaku dan aku hanya senyum-senyum saja hilanglah masalh itu. Ketika dosenku memarahiku dan aku hanya senyum saja selesai masalahnya, paling banter ia hanya bertanya,” kenapa kamu senyum-senyum saja?”. 

Senyuman kanak-kanak adalah senyuman yang paling tulus, mereka tersenyum hanya karena ingin tersenyum. Senyuman seorang bayi menceriakan  hati orang tuanya menjadikan mereka gembira dan berimpact pada perawatan dan curahan kasih sayang bagi si bayi itu sendiri.

Ketika dedaunan berguguran, mereka berwarna merah, merah yang ceria sebab sebelumnya mereka hijau dan menempel pada batangnya dan kini mereka akan lepas, terbang bersama tiupan angin, beputar di udara lalu jatuh ke tanah memenuhi sebuah tujuan penciptaan.

Simaklah cerita ini,” dalam sebuah masa, sehelai daun hijau sedih. Ia merasa sedih karena semua temannya berguguran. Ia sedih karena semua temannya luruh, runtuh lindap di atas ubin. Berkatalah ia pada sang pokok, “ aku tak mau gugur, aku ingin selalu menempel padamu, menjadi tempatmu memasak makanan dan mensuplainya pada seluruh anggota tubuh pohon ini”. Si pokok yang bijaksana menjawab, “ wahai daun kecil, engkau salah sebab teman-temanmu itu tidaklah bersedih mereka merasa sangat gembira bisa berguguran, saking gembiranya hingga warna mereka berubah menjadi merah, merah karena merasa bersemangat sebab telah berhasil memenuhi harapan dari penciptanya, mereka gembira sebab angin akan membuainya menerbangkannya hingga berputar-putar di udara, membentuk semacam putaran api kecil sebelum akhirnya mendarat di tanah, mereka akan beristirat untuk saat yang lama. 

Lalu lenyap, berubah bentuk dan menyuburkan induknya yaitu pohon ini. Itulah wujud rasa terima kasih mereka sebab mereka telah di ijinkan untuk pernah menempel di tubuhnya, pernah di perankan sesuai dengan tujuan penciptaanya”. “Begitukah wahai cabang yang bijaksana”, daun itu bertanya pada si pokok. “Ya” ,jawabnya singkat. Begitu mendengar jawaban itu daun itu merasa hatinya gembira ia merasa sangat senang hingga tiupan angin yang biasanya dia rasakan begitu kencang membuatnya takut sehingga ia akan berpegang erat pada cabang tempatnya menempel, tidak terasa demikian. Tiupan angin itu terasa lembut seolah membelainya dan mengajaknya berkelana. Berkelana ke tempat yang entah mungkin belum pernah di lihatnya. Bersamaan dengan ia lepaskan pegangannya ia berubah warna menjadi merah, semburan warna yang indah adalah cerminan hatinya. Ia terbang mengikuti hembusan angin pagi lalu lindap diantara dedaunan yang lainnya.

Begitulah ceritanya, aku tidak murni memikirkan hal itu. Seseorang yang menceritakannya padaku aku, hanya menangkapnya dalam bentuk lainnya
Mungkinkah senyuman pengemis itu yang membuat kantukku terbang dan hilang. Entahlah yang jelas setiap senyuman itu begitu berarti, “setiap senyuman adalah hikmah dan sedekah yang mudah bagi kehidupan”. Setiap senyuman memecah kebekuan, menghadirkan keceriaan. Sebab setiap senyuman adalah manifestasi keceriaan itu sendiri. Seorang gila di tepi jalan senyum-senyum sendiri, ia tidak peduli dengan kekotoran pakainnya. Kekotoran pakaianya tidak membuatnya gusar.

“Tapi ia memang gila, dan pengemis itu adalah tetap pengemis”, debat diriku lagi. “Terserah kamulah”, kataku. Kuseruput kopiku merasakan nikmatnya kafein dan aku tersenyum, pemilik warung menghampiriku, ia berujar kepadaku “lapo mas nguya-nguyu dewe?”. Aku jawab dengan senyuman, ia berlalu begitu saja samabil mengumamkan sebuah pertanyaan,” mari oleh duit ta”. “Mboten”, jawabku.

Aku hanya barusan bertemu dengan seorang pengemis yang tersenyum, ya pengemis yang tersenyum yang membuat kantukku hilang. Aku tidak ngantuk lagi, aku siap menghadapi hari ini.
Malang, 11 September 2009
20 Ramadhan 1430 Hijriah