Ada bunga-bunga ungu yang mekar di tengah kubangan dengan air berwarna kecoklatan. Sementara katak-katak  ber-kungkong di antaranya. Siang itu terik, air di dalam kubangan kecil tadi menyebarkan bau busuk, seolah lumpur di dalamnya berubah hidup dan  segera menjadi mati karena panasnya udara siang itu. Udara terus memanaskan suhu kehidupan. 
  
Tidak begitu adanya dengan bunga-bunga ungu kecil di tengah kubangan tadi. Mereka seolah malah bersuka cita di tengah keadaan yang benar-benar mematikan. Mereka bertahan, dengan segala kemampuannya. Bertahan dengan daun-daun kecil yang menempel pada batangnya, bertahan dengan segala macam sulur dan akar yang meruap ke segala penjuru kubangan. Bertahan di tengah teriknya udara yang membakar.

Membosankan merasakan panasnya udara siang ini. Tidak terlalu heboh rasanya jika begitu banyak orang yang menjadi jengkel karenanya. Bahkan diantaranya sampai saling memukul.

Aku kelelahan, berteman panasnya udara ditingkahi lambaian bunga-bunga ungu kecil di tengah kubangan berwarna coklat berbau busuk, aku berdiri di dekatnya, merasa jengkel karena panas, sekaligus tertegun  memandang kecantikan bunga ungu kecil yang tumbuh di dalamnya. Ia begitu tahan banting menghadapi panasnya cuaca yang membunuh.

Dalam lamunan, aku bercakap dengannya dalam bahasa yang tak kumengerti. Bahasa bunga, mungkin! Ia jelaskan sesuatu padaku. Tapi aku sunguh tak mengerti apa yang di tuturkannya. Lamat-lamat menyentuh gendang telingaku Sepertinya ia menuturkan alasan yang mendorongnya bertahan dalam air kubangan, sebuah alasan kesengajaanya bertahan hidup demi sesuatu yang sangat penting. Demi sebuah kenangan, namun entah kenangan tentang apa yang mampu menjadikannya survive, tetap hidup dan bahkan tidak layu sedikitpun. Seperti tak ada satu hal pun yang mampu membunuhnya. Tak ada kebosanan atau jenuh, dari caranya bergoyang saat angin berhembus, dari caranya menjulurkan akar sampai memenuhi seluruh bagian kubangan.

Malamnya,  
aku tidak bisa segera memejamkan mata. Pikiranku masih terbayang tentang bunga ungu kecil di tengah kubangan, siang tadi. Pikiranku tidak sedikitpun bisa fokus pada keinginan untuk sejenak menghentikan aktifitas kesadaran sel-sel otak. Malahan lamunan tentang kegigihan hidup sang bunga kecil itulah yang lalu lalang, timbul tenggelam terus menerus. Ada kerinduan dan rasa ingin bertemu. Bahkan ini kurasa bukan sekedar kerinduan, ini cinta, kesadaran menggemaskan mengerogoti logika, seperti rayap memakan setiap inci keperkasaan kayu, menjadikannya bulir-bulir kasar menjadikannya hancur dari dalam dirinya sendiri, seperti korosi dengan perlahan melunakkan besi baja yang kokoh.

Dalam lamunan aneh tentang bunga ungu kecil, ada yang membersit di dalam angan, selarik syair, selarik syair yang menjadikan aku semakin percaya pada hal bodoh yang menyebalkan yang menyatakan bahwa dirinya bernama ketulusan dan cinta. Kucoba mengendalikan diri namun segala macam hal yang bersifat sangat metodik, analitik dan klasifikatif tidak mampu menghalangi tumbuhnya perasaan bersifat melodramatik ini.

 Padahal sudah sedemikian rupa kucoba menghalanginya, menghalangi segala macam keengganan untuk kembali memikirkan bunga ungu kecil tadi. Mengingat betapa jika aku ingin memetiknya aku mesti berhadapan dan berkubang dalam kisaran kolam berwarna coklat tua, mengingat betapa aku mesti menahan sengatan matahari siang yang serasa mampu melelehkan otak. Perutku mulai terganggu dan terasa mulas, entah karena apa. Segera aku berlari  ke belakang, kutumpahkan segala macam isi perut ke dalam jamban. Semuanya tertumpahkan, namun dalam bentuk lain. Dalam bentuk lain yang sangat menjijikan. Meskipun pada awalnya aku sangat bersemangat untuk menjejalkannya ke dalam rangkaian panjang usus dalam perutku. Sedikit menyesal mengetahui bahwa aku harus membuang segala macam energi hanya demi hal yang akhirnya berubah menjadi sesuatu yang bukan hanya busuk, namun juga menjijikan.

Sudah enam hari berlalu!
Semenjak siang terik ketika aku berdiri di samping kubangan coklat dengan bunga-bunga ungu kecil di dalamnya. Enam hari namun kepalaku terus di hinggapi bayang-bayang bunga ungu, enam hari yang panjang untuk sebuah proses melupakan.

Hanya enam hari namun terasa teramat menyiksa. Enam hari yang semakin membulatkan tekadku untuk memetik, dan menjadikannya milik.  Enam hari berisi bayangan tentang caranya menggeliat saat tertiup angin, caranya meruapkan akar ke segala penjuru kubangan, keindahannya saat terterpa matahari senja, kekuatannya bertahan hidup. Enam hari yang benar-benar membuatku capek deh. Aku sudah hampir putus asa ketika seorang teman yang biasa melintasi jalan setapak di samping kubangan membawa kabar. Kabar buruk.

Ada buldoser, traktor, dan truk-truk pengangkut pasir yang hilir mudik menimbun kubangan itu. Pekerja-pekerja yang lelah terlelap di bawah rimbun pohon terakhir yang belum ditebang, pohon terakir yang belum tereradikasi oleh rantai gergaji mesin. Aku mencoba  mencari bunga ungu kecil. Kutemukan tergeletak, mengering.

Kini!
Tidak ada lagi kubangan, akar yang meruap kepenjuru, bisikan pelan lagu tentang ketulusan dan kegigihan menjalani hidup. Sudah berakhir, kubangan tertimbun reklamasi pasir dan batu, bersama segala keindahan, bersama warna coklat airnya. Sudah berakhir dan aku tetap memungut bunga ungu itu, meski telah mengering.

Kubuka halaman, menyelipkannya pada buku catatanku. Saat kusentuh ia remuk, meski hanya dengan ujung jari.
Malang, 13 April 2008