Kepada Yth,
Engkau Saudaraku
Di Mana Saja Berada
Malang, 12 September 2009

Dengan hormat,

Untukmu saudaraku,
Pada malam ini aku tuliskan surat ini. Dengan disertai harapan semoga setiap mahluk hidup berbahagia.

Pada malam ini, 12 September 2009 aku menuliskan ini. Surat ini aku berikan judul “Menulislah seperti Buang Air Besar”. Surat ini aku tuliskan padamu dalam malam di bulan ramadhan tahun ini. Bulan di mana setiap mahluk memungkinkan mendapat pengalaman-pengalaman berharga yang mencerahkan batin, membawanya pada sebuah pengetahuan baru tentang kedirian, dan fitrahnya sebagai bagian dari keluarga Tuhan. Sebagai keluarga Sang Maha Pencipta yang agung.

Saudaraku sekalian,
Tidak ada sedikitpun maksud dalam penulisan hal ini selain hanya bercerita tentang setiap hal yang mungkin telah dan pernah, serta aku harapkan sebagai manusia. Semoga setiap hal itu mungkin “ juga akan” bisa bermakna bagimu.

Saudaraku sekalian,
Kita adalah bagian dari sedemikian panjang rantai peradaban, setiap diri kita tidak ada satupun yang terlepas dari konteks kemanusiaan. “Jika kita memang masih merasa dan menganggap diri kita adalah manusia”.
Dalam konteks “manusia”, ia adalah mahluk yang unik, menyenangkan untuk terus di kenal, di kenang, di kaji dan pelajari. Sebab ada berbagai macam hal yang unik dan istimewa dalam diri manusia yang “mungkin”, tidaklah di miliki oleh mahluk lain dalam konteks makro kosmik dunia ini.

Salah satu yang menjadi ciri manusia adalah “ke-beraksara-an”, ciri ke-beraksara-an hanya salah satu dari sekian banyak ciri subjektifitas manusia. “Ke-beraksara-an” di kenal hanya pada kedirian subjek hidup yang disebut sebagai “manusia”, itu mungkin dikarenakan di dalam diri subjek hidup lainnya, tidak, atau lebih tepatnya kita sebut, belum terlacak, sepanjang perjalanan sejarah  kehidupan di muka bumi ini. Hanya manusia yang lebih tepatnya bisa dan memungkinkan di sebut sebagai mahluk yang beraksara atau mengenal aksara.

Saudaraku,
Mengapa aku menyinggung tentang aksara, sebab judul tulisan ini adalah “menulislah sebagaimana buang air besar”. Dan dalam judul tulisan ini mengandung kata “menulis”, di dalam “menulis” itulah salah satu cara aksara mengejawantah. Lewat tulis-menulis itulah aksara hadir dan di hadirkan. Jadi menulis adalah salah satu dari sekian banyak cara bagi kita untuk menunjukan salah satu ciri dasar manusia dan kemanusiaan kita, yaitu ke-beraksara-an, sebagaimana yang telah disinggung tadi.
Tidaklah sulit untuk menulis, sebab menulis adalah sama sebagaimana tiap manusia merasa sakit perut, lalu lari ke toilet dan mengeluarkan kotorannya. Memang, menulis tidaklah mungkin bisa disamakan dengan buang air besar, namun esensinya adalah sama. Sama-sama mengeluarkan sesuatu yang menganjal dan menyiksa, yang bahkan mungkin mampu menjadikan sakit diri ini.

Simaklah beberapa cerita tentang pengalamanku ini,
Dalam suatu masa, aku berplesir bersama beberapa teman mudaku. Di sebuah kawasan hutan wisata didaerahku desa pacet namanya. Masih berada di kawasan kabupaten Mojokerto, kami berangkat bersepuluh dengan berboncengan motor. Sesampainya disana, sebagaimana hal yang biasa di lakukan oleh para plesiran. Kami mencari tempat nongkrong untuk santai dan kongkow-kongkow, sebuah warung kami pilih. Tempatnya strategis dan indah, di sebelah utara tampak bukit kecil yang sedikit gundul, namun sedikit kehijauan itu sudah cukup untuk mencuci mata. Sembari menikmati kopi dan jagung bakar, ditingkahi celotehan dan senda gurau, kami membahas berbagai hal yang tak jelas. Hal-hal yang berkaitan dengan dinamika masa muda.

Puas bersenda gurau, beranjaklah kami untuk berjalan-jalan. Kami menuju air terjun, Coban Canggu. Dalam perjalanan menuju air terjun itu kami melewati batuan sungai, sebab memang perjalanan menuju air terjun itu harus melewati sebuah anak sungai. Kaki kami basah oleh airnya, terasa sejuk, dan nyaman. Tertumbuk mataku pada batu-batu, diatasnya berbagai macam coretan, tentang berbagai hal yang terwujud dalam pernyataan-pernyataan.
Ada pernyataan-pernyataan seperti ini, “ Niko sayang Mita, Cintaku hanya padamu, aku haus akan kasihmu, dindaku kemanakah engkau pergi, KKN Unmuh 1992, KKN unesa 1997 doni, tio, agus, bakhri”, dan jutaan coretan lainnya.

Celotehan-celotehan tadi merangsang imajiku, waktu itu aku juga sedang kasmaran. Dengan adanya tulisan-tulisan di batu-batu itu merangsang aku untuk menulis pada seseorang yang menjadi sumber asmaraku. Lalu segera aku buat sebuah buku catatan kecil yang khusus untuknya, aku isi dengan puisi-puisi, dan berbagai hal mengapa aku mengagumi dia, serta alasan mengapa aku menginginkan bersamanya. Sekedar tahu, tulisan itu aku beri judul “ lima ratus hal mengapa aku mencintaimu”. Di dalamnya ada sebuah pernyataan yang aku tuliskan seperti ini “ sebab engkau laksana tulisan pada batu-batu yang bisu, engkaulah yang menjadikan aku mampu berkata meski aku hanya batu yang bisu”.

Dan pada lain kesempatan aku bawa dia kesana dan di tempat itu aku tunjukkan tempat itu, aku membual tentang berbagai macam hal, khas anak muda yang sedang jatuh cinta, hingga aku nyatakan juga perasaanku padanya. Dan saat itu, ada awan, ada sungai yang sejuk dan sedikit di tingkahi suara khas beburungan, dan saat itu juga ia menolakku, tapi tidak masalah, sebab ia memuji tulisanku dan dengan itulah aku menjadi terus bersemangat untuk menulis, sebuah semangat yang dirangsang oleh masalah. Meskipun sebenarnya waktu itu aku engan sudah untuk menulis lagi, aku rasakan tidak terlalu banyak impact langsung. Namun hanya karena sebuah pujian tentang tulisanku dari seseorang yang menjadi penyebab rinduku itu aku kembali terus menulis.
Hingga saat ini, dan hingga suatu saat aku mendapatkan rasa lain, pada seseorang yang lain pula, aku mendapatkan ide untuk menuliskan juga sesuatu tentang perasaanku. Dan saat itulah cinta datang lagi, orang yang lain, namun dengan gejolak yang sama, dan tetapi yang ini berujung pada keindahan dan semangat yang baru.

Henti sampai disitu saja penuturanku padamu,
Kenapa aku berpanjang lebar bercerita tentang itu, sebab aku ingin memberikan pemahaman kepadamu betapa ketika kita mengungkapkan dengan jujur apa yang kita rasakan lewat tulisan, maka saat itu juga kehidupan akan menjawab pertanyaan kita.

Sebuah cerita yang lain,
Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, pada suatu waktu aku sempat merasa sangat marah pada orang tuaku. Aku melampiaskannya dengan menulis, aku tuliskan sebuah catatan panjang tentang perasaanku, aku lupa apa judul dari  tulisan itu. Tapi yang jelas isinya adalah ancaman, cercaan dan makian pada orang tuaku. Namun aku ingat, aku menuliskan pernyataan ini,”orangtua laksana serigala berbulu domba, yang hanya baik ketika ia menyamar, pura-pura menjadi salah satu bagian kawanan dan ketika salah satu domba lengah ia akan membuka kedok dan memangsa salah satu dombanya”, sebagai anak berusia delapan tahun, tentunya aku tidak terlalu mengerti apa makna dari yang aku tulis. Aku hanya menulis berdasarkan apa yang terlintas dalam benak.
Selesai aku menuliskannya, dengan kasar aku berikan pada ayahku. Ia membacanya, dan sesegera, bukannya malah menanggapi dengan marah namun Ia malah menuturkan padaku bagaimana cara menulis yang baik. Aku binggung, tidak jadi memulai pertengkaran, dan berlalu begitu saja. Selesai dengan mudah dengan menulis dan mengkomunikasikan tulisan. Itu adalah salah satu dari kebaikan menulis.

Saudaraku,
Aku tidaklah menyeru atau mengajak engkau untuk menulis sebab menulis juga membutuhkan energi berpikir yang besar kadang membuat kita kecewa ketika orang tidak menghargai apa yang kita tulis, namun bahwa effect dari menulis yang langsung bisa dirasakan memungkinkan kita menyenangi hal ini. Dan ingatlah tentang pembahasan kita tentang aksara di awal tadi.

Saudaraku,
Sudah begitu panjang aku bertutur padamu, bertele-tele dengan menyombongkan diriku dan mungkin itu membuatmu tidak nyaman. Jika itu yang engkau rasakan maka maafkanlah aku.

Saudaraku yang terkasih,
Itulah beberapa penuturanku tentang apa yang kurasakan sesudah aku menulis dan mengkomunikasikannya. Semoga apa yang telah aku tuturkan bisa menjadi manfaat bagi dirimu, baik secara langsung maupun tak langsung. Namun, apapun bahwa menulis adalah kata hati, fakta yang terbersit tentang diri kita, dan salah satu cara Tuhan membelajarkan manusia tak lain lewat tulisan. Lewat kitab atau risalah para rasulnya, lewat kumpulan ujaran nabi, yang biasa disebut hadits dan dikumpulkan dalam bentuk tulisan dan terus menerus dapat kita dengar hingga hari ini. Pedoman hidup dari Negara juga dalam bentuk tulisan.

Dan tentunya adalah fakta,
Sebab tulisan yang bukan diangkat dari fakta adalah kebohongan dan kebohongan itu akan menyesatkan, maka menulislah atas dasar fakta diri, atas dasar fakta dan suara hati. Dan jangan biarkan suara hati itu membisu, menumpuk di kalbu, menjadikan kita sakit karenanya.

Begitulah, galilah fakta hatimu, suara yang lama terpendam, biarkan setiap hal dan manusia lain tahu, dan jangan tutupi fakta.
Sebab begini Rendra menyatakan dalam tulisannya “Kita kurang memandang fakta. Terutama fakta social, ekonomi dan politik. Naluri kebudayaan kita itu tabu kepada fakta. Sedang di barat fakta dihargai. Pemikiran mereka selalu berdasarkan fakta-fakta dan analisis. Itulah sumber dinamika dan kekuatan mereka.”*

Begitulah saudaraku,
Empat kali empat enam belas
Sempat tidak sempat surat harus di balas.
Maka balaslah suratku, aku menunggu.

Dengan segala ketulusan aku berharap engkau selamat, sehat dan sejahtera selalu dalam lindunganNya

Salam Hangat 
Sahabatmu,


Raditya Winata

 Dikutip dari, “Penyair dan Kritik Sosial karangan Ws Rendra penerbit KEPEL press cetakan pertama April 2001”