menggema dan membahana diantara rimba kata
Mars Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Aristoteles (384 SM-322SM), menyatakan dalam bukunya yang berjudul Poetika bahwa, ”suatu karya sastra haruslah dilihat dari kebagusan antara order (tata urut sehingga konsistensi terjaga dan konsekuensi sebab akibat menjadi masuk akal), amplitude atau complexity (kekompleksan ruang lingkup yang memungkinkan sebab akibat mendapat tempat dan dapat dirunut), unity (kepaduan sehingga plot menjadi jelas) dan coherence (koherensi yang berarti bahwa suatu karya sastra menyusun plot dalam pilahan kejadian-kejadian yang relevan dalam penghubungan sebab akibat)”


Dan bila dilanjutkan maka definisi kata Poetika itu sendiri merujuk pada¸ “penyelidikan mengenai puisi dari sudut linguistik”. Yang jika kita rangkai kedua kutipan tadi maka Poetika itu sendiri akan mengarah pada satu tata cara pembedahan dan pendedahan puisi, tentang struktur, makna, ungkapan simbolik maupun praktis dari sudut pandang linguis itu sendiri.

Dalam kesinambungannya dengan pemikiran Poetika dan definisi dari kata Poetika  itu sendiri maka diketahui unsur-unsur yang berusaha dirambah oleh representasi kata Poetika adalah unsur-unsur yang dikandung oleh sebuah karya sastra, baik dalam bentuk naratif atau prosa maupun dalam bentuk syair-syair atau puisi (poem, poet, poetry).

Menggemakan Rindu, Menjeritkan Bisu

Poetika, demikian kertas kerja ini diberi judul. Poetika, bagi saya sendiri tidak lain adalah sebuah definisi lain dari kata puisi dalam bahasa Indonesia, yang menyangkut juga segala elemen dan keindahan yang bersifat puitik yang terserak dalam keagungan kehidupan secara luas dan terwakili dalam representament verbal, pada kata itu sendiri. Yang dalam masa khusus dipotret oleh individu atau personal tertentu dan di dedahkan dari bumi metafora melalui rimba kata, dan terejawantahkan pada lembaran-lembaran kertas sebagai pengikat manifestasi intrinsiknya.

Lalu bagaimana dengan pemikiran akan definisi dari arti kata poetika, sebagai satu pisau bedah definisi formal akademis?

Yang dalam susunan definisi dan formal akademis, diketahui bahwa menabrak hukum yang telah ditetapkan oleh kaidah-kaidah yang telah ditetapkan adalah berbahaya dan bahkan menjauhkan setiap pencari kebenaran dari kebenaran itu sendiri. Dan ini bermakna linear dengan pemikiran dari kaidah linguistis yang, taat pada kebenaran berbahasa dan polite yang menjadi point utama dari prespektif lingua seorang linguis

tersebut. Dan ini bermakna pula semakin kita menoleh pada pemikiran utama pada “definisi” kata Poetika maka semakin jauhlah kita dari struktur utama yang mendasari dilahirkannya puisi.  

Menurut Joseph Roux, puisi adalah kebenaran yang sedang berhari minggu. Dan bilamana ditambahkan lagi pandangan seorang penyair, T.S. Eliot, yang menyatakan bahwa, puisi sejati itu sudah berkomunikasi sebelum ia dimengerti, maka semakin jelaslah bahwa poetika itu sendiri berada pada prespektif subjektif penulisnya, berikut dengan ketaksaan dan haluan perasaan yang terguratkan pada masa ketika sebuah karya sastra itu diejawantahkan.      

Menggembala kerumunan Metafora, Memanen keriaan kata-kata

Di padang lamunan seorang yang dikerubuti oleh kawanan metafora, seorang yang peka akan dengan serta merta mengarah pada Poetika, Poetika yang secara utuh dilakukan guna mendomestikasi setiap kata, kata yang liar dan berlarian kesan kemari. Menuju kepada satu titik dari apa-apa, yang disampaikan oleh aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Poetika” itu.

Setiap usaha yang dilakukan oleh seorang tersebut dapat kita biaskan dalam kata “menulis”, menulis yang mengembala, bukan menulis yang berburu sebagaimana yang sering terlintas dan ada pada ranah kebanyakan.

Dan sebagaimana yang muncul dalam puisi Firda Rizky Kadida ini:

KALA SENJA TIBA

Hari ini senja telah tiba
Langit mulai meredup tertutup awan
Angin timur berhembus berkejaran
Menggoyangkan daunan perak di dahannya
Dan, rasa hangat sirna perlahan
Mendung tebal membatasi cakrawala
Gugusan kabut putih dengan rakus menelan cahaya

Kala senja merah merona
Hari telah berganti
memasuki malam bertabur dengan bintang-bintang
Membangun mimpi tuk menyongsong pagi
beraroma wangi.

Pada bait kala senja merah merona/hari telah berganti//memasuki malam bertabur dengan bintang-bintang/membangun mimpi tuk menyongsong pagi/beraroma wangi//. Dalam setiap untai kata yang muncul terasa ada metafora-metafora yang begitu jinak, yang berarti bahwa Firda sebagai penulis puisi itu berusaha melahirkan apa yang berderai melalui nuansa yang tertampakkan oleh senja, senja yang lembut. Yang mendekap dengan indah dan membiaskan suasana tenang dalam sepi yang tak terprediksi, namun tetap tersiratkan guratan semangat bahwa, esok akan datang, esok yang termanifestasi sebagai perwujudan mimpi-mimpi, dan menjadi penyemangat bagi kepastian pada pemeliharaan Sang Hidup.

Atau mari kita simak syair yang ditulis oleh Johan Slamet Raharjo berikut :

Nulis ah,

Mencoba menulis
Namun bagaimana caranya
Benakku berdakwah
Males,
Kurang kerjaan,
Ah masa bodoh nanti-nanti saja
Dari pada itu,
Mending lakuin hal berguna
Tak urus berbagai omongan
Tegak berdiri di pijakan
Aku menulis bukan karena tuntutan
Bukan kejar setoran
Aku gunung, lahar tulisan
Keluar tidak merusak atau membakar
Melainkan menambah indah
Suatu kehidupan



                                                                                    Kediri, 5 September 2012

Demikian adalah puisi yang lain. Dengan untai kata yang berbeda dan element-element poetika yang berbeda pula. Dalam puisi ini terlihat jelas, bahwa dalam pergulatan dan pergumalan batin yang luar biasa ia tak hendak merelakan buruan yang akan dia jinakan dalam manifestasi intrinsik, untuk lepas kembali ke padang lamunannya. Ada semangat yang liat dan pejal. Yang membuncahkan setiap desir kehendak retorik yang ada pada dirinya. Hal ini terwakili pada bait, Aku gunung/lahar tulisan//…keluar tidak merusak atau membakar/melainkan/menambah indah suatu kehidupan//.

Berburu, Mengikat, Merawat metafora di padang poetika

Di padang poetika semua sama, berhak berburu, mengikat, merawat dan bahkan memanen dan memanfaatkan keriuhan gerombol dan kawanan metafora yang berlarian. Di padang poetika semua adalah sama, yang membedakan hanya mana pemburu terbaik yang tidak hanya mampu menangkap namun dengan sangat telaten mengikatnya, berusaha menjinakan dan merawat metafora yang telah ditangkapnya. 

Di padang poetika pula semua diuji, semua yang bermanifestasi dalam empat kemampuan dasar berbahasa diuji dan ditampakan, mana persona yang sabar, ulet, tekun dan dinamis pada metafora-metafora yang telah di tangkap dan dijinakannya. Berikut dengan mana persona yang ceroboh dan lebih sering kehilangan metafora-metafora yang telah ditangkap dan dijinakannya dengan susah payah. Atau juga akan ditampakan persona-persona yang terlalu sering menguliti metafora-metafora dengan pisau bedah formalis.



Sebagai penutup, mengutip sebuah pengantar dalam buku puisi berjudul biru hitam merah kesumba. Tentang betapa metafora tak pernah lepas dari poetika dan meski poetika bersifat formalis dari segi definisi katanya namun ia juga berjiwa strukturalis yang legawa khas poet atau poetry atau puisi itu sendiri.

Demikian kutipan itu berbunyi ” Apa yang membuat orang lebih mudah menuangkan isi hati lewat puisi ketimbang lewat prosa? Menurut pengalaman saya, puisi lebih disukai karena sifatnya yang pribadi/personal. Ia tak perlu memberi makna sama pada pembacanya. Bagi pengarang/auteur, puisi menjadi sesuatu yang rahasia karena dimengerti hanya untuk dirinya sendiri. Terserah pemahaman orang lain mau seperti apa”.

Dan paling tidak begitu pula menurut saya sendiri, puisi selalu bersifat pribadi dalam gerombol metafora di padang poetika kita masing-masing, namun ketika puisi sampai ke tangan pembaca, maka bayangkan metafora-metafora itu adalah kerumunan badak, atau kuda atau sapi atau gajah atau apa saja dan berlari menuju ke arah seseorang, tidak peduli siapapun orang atau persona yang sedang berada di jalur hewan-hewan yang berlarian itu, maka tetap saja kerumunan hewan itu akan mengarah padanya. Jika ia tidak minggi dan memberi jalan  

Salam Hangat
Selamat berpoetika

Raditya Winata
Malang, 9 November 2012
Setelah Subuh



Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, kutipan pada tulisan “Sastra dan Struktur”,