“menggema
dan membahana diantara rimba kata”
Mars Fakultas
Sastra Universitas Negeri Malang
Aristoteles (384
SM-322SM), menyatakan dalam bukunya yang berjudul Poetika bahwa, ”suatu karya sastra haruslah dilihat dari kebagusan
antara order (tata urut sehingga konsistensi terjaga dan konsekuensi sebab
akibat menjadi masuk akal), amplitude
atau complexity (kekompleksan ruang
lingkup yang memungkinkan sebab akibat mendapat tempat dan dapat dirunut), unity (kepaduan sehingga plot menjadi
jelas) dan coherence (koherensi yang
berarti bahwa suatu karya sastra menyusun plot dalam pilahan kejadian-kejadian
yang relevan dalam penghubungan sebab akibat)”
Dan bila
dilanjutkan maka definisi kata Poetika
itu sendiri merujuk pada¸ “penyelidikan mengenai puisi dari sudut linguistik”.
Yang jika kita rangkai kedua kutipan tadi maka Poetika itu sendiri akan mengarah pada satu tata cara pembedahan
dan pendedahan puisi, tentang struktur, makna, ungkapan simbolik maupun praktis
dari sudut pandang linguis itu sendiri.
Kediri , 5 September 2012
Malang , 9 November 2012
Dalam
kesinambungannya dengan pemikiran Poetika
dan definisi dari kata Poetika itu sendiri maka diketahui unsur-unsur yang
berusaha dirambah oleh representasi kata Poetika
adalah unsur-unsur yang dikandung oleh sebuah karya sastra, baik dalam bentuk
naratif atau prosa maupun dalam bentuk syair-syair atau puisi (poem, poet, poetry).
Menggemakan Rindu, Menjeritkan Bisu
Poetika, demikian kertas
kerja ini diberi judul. Poetika, bagi
saya sendiri tidak lain adalah sebuah definisi lain dari kata puisi dalam
bahasa Indonesia, yang menyangkut juga segala elemen dan keindahan yang
bersifat puitik yang terserak dalam keagungan kehidupan secara luas dan
terwakili dalam representament verbal, pada kata itu sendiri. Yang dalam masa
khusus dipotret oleh individu atau personal tertentu dan di dedahkan dari bumi
metafora melalui rimba kata, dan terejawantahkan pada lembaran-lembaran kertas
sebagai pengikat manifestasi intrinsiknya.
Lalu bagaimana
dengan pemikiran akan definisi dari arti kata poetika, sebagai satu pisau bedah
definisi formal akademis?
Yang dalam susunan definisi dan formal akademis,
diketahui bahwa menabrak hukum yang telah ditetapkan oleh kaidah-kaidah yang
telah ditetapkan adalah berbahaya dan bahkan menjauhkan setiap pencari
kebenaran dari kebenaran itu sendiri. Dan ini bermakna linear dengan pemikiran
dari kaidah linguistis yang, taat pada kebenaran berbahasa dan polite yang menjadi point utama dari
prespektif lingua seorang linguis
tersebut. Dan
ini bermakna pula semakin kita menoleh pada pemikiran utama pada “definisi”
kata Poetika maka semakin jauhlah
kita dari struktur utama yang mendasari dilahirkannya puisi.
Menurut Joseph
Roux, puisi adalah kebenaran yang sedang berhari minggu. Dan bilamana
ditambahkan lagi pandangan seorang penyair, T.S. Eliot, yang menyatakan bahwa,
puisi sejati itu sudah berkomunikasi sebelum ia dimengerti, maka semakin
jelaslah bahwa poetika itu sendiri
berada pada prespektif subjektif penulisnya, berikut dengan ketaksaan dan
haluan perasaan yang terguratkan pada masa ketika sebuah karya sastra itu
diejawantahkan.
Menggembala kerumunan Metafora, Memanen keriaan
kata-kata
Di padang lamunan seorang
yang dikerubuti oleh kawanan metafora, seorang yang peka akan dengan serta
merta mengarah pada Poetika, Poetika yang secara utuh dilakukan guna
mendomestikasi setiap kata, kata yang liar dan berlarian kesan kemari. Menuju
kepada satu titik dari apa-apa, yang disampaikan oleh aristoteles dalam bukunya
yang berjudul “Poetika” itu.
Setiap usaha
yang dilakukan oleh seorang tersebut dapat kita biaskan dalam kata “menulis”,
menulis yang mengembala, bukan menulis yang berburu sebagaimana yang sering
terlintas dan ada pada ranah kebanyakan.
Dan sebagaimana
yang muncul dalam puisi Firda Rizky Kadida ini:
KALA SENJA TIBA
Hari ini senja telah tiba
Langit mulai meredup tertutup awan
Angin timur berhembus berkejaran
Menggoyangkan daunan perak di dahannya
Dan, rasa hangat sirna perlahan
Mendung tebal membatasi cakrawala
Gugusan kabut putih dengan rakus menelan
cahaya
Kala senja merah merona
Hari telah berganti
memasuki malam bertabur dengan
bintang-bintang
Membangun mimpi tuk menyongsong pagi
Pada bait kala senja merah merona/hari telah berganti//memasuki malam bertabur dengan
bintang-bintang/membangun mimpi tuk
menyongsong pagi/beraroma wangi//. Dalam
setiap untai kata yang muncul terasa ada metafora-metafora yang begitu jinak,
yang berarti bahwa Firda sebagai penulis puisi itu berusaha melahirkan apa yang
berderai melalui nuansa yang tertampakkan oleh senja, senja yang lembut. Yang
mendekap dengan indah dan membiaskan suasana tenang dalam sepi yang tak
terprediksi, namun tetap tersiratkan guratan semangat bahwa, esok akan datang, esok
yang termanifestasi sebagai perwujudan mimpi-mimpi, dan menjadi penyemangat
bagi kepastian pada pemeliharaan Sang Hidup.
Atau mari kita
simak syair yang ditulis oleh Johan Slamet Raharjo berikut :
Nulis ah,
Mencoba
menulis
Namun
bagaimana caranya
Benakku
berdakwah
Males,
Kurang
kerjaan,
Ah
masa bodoh nanti-nanti saja
Dari
pada itu,
Mending
lakuin hal berguna
Tak
urus berbagai omongan
Tegak
berdiri di pijakan
Aku
menulis bukan karena tuntutan
Bukan
kejar setoran
Aku
gunung, lahar tulisan
Keluar
tidak merusak atau membakar
Melainkan
menambah indah
Suatu
kehidupan
Demikian adalah
puisi yang lain. Dengan untai kata yang berbeda dan element-element poetika yang berbeda pula. Dalam puisi
ini terlihat jelas, bahwa dalam pergulatan dan pergumalan batin yang luar biasa
ia tak hendak merelakan buruan yang akan dia jinakan dalam manifestasi
intrinsik, untuk lepas kembali ke padang
lamunannya. Ada
semangat yang liat dan pejal. Yang membuncahkan setiap desir kehendak retorik
yang ada pada dirinya. Hal ini terwakili pada bait, Aku gunung/lahar tulisan//…keluar tidak merusak atau
membakar/melainkan/menambah indah suatu kehidupan//.
Berburu, Mengikat, Merawat metafora di padang poetika
Di padang poetika semua sama, berhak berburu,
mengikat, merawat dan bahkan memanen dan memanfaatkan keriuhan gerombol dan
kawanan metafora yang berlarian. Di padang
poetika semua adalah sama, yang
membedakan hanya mana pemburu terbaik yang tidak hanya mampu menangkap namun
dengan sangat telaten mengikatnya, berusaha menjinakan dan merawat metafora
yang telah ditangkapnya.
Dipadang
poetika pula semua diuji, semua yang
bermanifestasi dalam empat kemampuan dasar berbahasa diuji dan ditampakan, mana
persona yang sabar, ulet, tekun dan dinamis pada metafora-metafora yang telah
di tangkap dan dijinakannya. Berikut dengan mana persona yang ceroboh dan lebih
sering kehilangan metafora-metafora yang telah ditangkap dan dijinakannya
dengan susah payah. Atau juga akan ditampakan persona-persona yang terlalu
sering menguliti metafora-metafora dengan pisau bedah formalis.
Di
Sebagai penutup,
mengutip sebuah pengantar dalam buku puisi berjudul biru hitam merah kesumba. Tentang betapa metafora tak pernah lepas
dari poetika dan meski poetika bersifat formalis dari segi
definisi katanya namun ia juga berjiwa strukturalis yang legawa khas poet atau poetry atau puisi itu sendiri.
Demikian kutipan
itu berbunyi ” Apa yang membuat orang lebih mudah menuangkan isi hati lewat
puisi ketimbang lewat prosa? Menurut pengalaman saya, puisi lebih disukai
karena sifatnya yang pribadi/personal. Ia tak perlu memberi makna sama pada
pembacanya. Bagi pengarang/auteur, puisi menjadi sesuatu yang rahasia karena
dimengerti hanya untuk dirinya sendiri. Terserah pemahaman orang lain mau
seperti apa”.
Dan paling tidak
begitu pula menurut saya sendiri, puisi selalu bersifat pribadi dalam gerombol
metafora di padang poetika kita
masing-masing, namun ketika puisi sampai ke tangan pembaca, maka bayangkan
metafora-metafora itu adalah kerumunan badak, atau kuda atau sapi atau gajah
atau apa saja dan berlari menuju ke arah seseorang, tidak peduli siapapun orang
atau persona yang sedang berada di jalur hewan-hewan yang berlarian itu, maka
tetap saja kerumunan hewan itu akan mengarah padanya. Jika ia tidak minggi dan
memberi jalan
Salam
Hangat
Selamat
berpoetika
Raditya
Winata
Setelah
Subuh
Teeuw, A. 1984. Sastra
dan Ilmu Sastra. Jakarta :
PT Dunia Pustaka Jaya, kutipan pada tulisan “Sastra dan Struktur”,
0 Komentar