Dalam puncak rantai makanan, manusia menduduki tempat teratas. Spesies manusia mungkin bukan yang terbanyak dari segi populasi, namun bisa dianggap yang terkuat. Ini dapat dilihat dari banyak fakta, bahwa spesies ini memegang peran menajer di bumi ini. Mereka menata, membangun, mengubah, menyingkirkan, menghalau yang lain sesama penghuni bumi ini. Itu terjadi karena mereka mampu memberdayakan akal.
Setiap jengkal tanah yang mereka bangun, setiap milimeter lokasi yang mereka diami adalah bukti kekuatan mereka. Manusia memang telah terfitrahkan untuk menjadi manager bumi ini, telah ditasbihkan menjadi juru kunci peradaban, atas spesies dan ras mereka sendiri. Peran dan fungsi itu terbukti dari kemampuan menamai dan mendiskripsikan setiap ha lain di luar diri mereka.
Pada permulaan wujud, manusia telah terkisahkan bahwa moyang mereka—Adam—dihormati para malaikat, karena kemampuannya mengetahui dan menjawab nama-nama yang ditanyakan Sang Maha Pemilik Pertanyaan. Kisah itu telah tercatat dalam kitab suci. Kisah itu dijadikan dongeng bagi anak-anak sebelum tidur, dilagukan dalam misa dan kebaktian, senandung merdu pujian di masjid-masjid.
Adam, sang kakek moyang juga mampu mengungkapkan rasa sepi, sehingga Gusti Ingkang Murbeng Dumadi memberkahi. Ibu hawa diwujudkan dari patahan rusuk kiri lelaki, sebagai teman, sekaligus ibu dari segala spesies manusia. Kenapa sang kakek moyang sedemikian berdaya, mampu meminta, mampu merengek, mampu memohon menjadi ”the spesial one” sehingga sang Paring Gesang mengabulkan?
Entah didasari dari keberanian atau ketidakmampuan, kesepian atau apalah, bahwa situasi ketika itu tidak mungkin dilukiskan atau didiskripsikan dengan kemampuan saat ini. Bahwa kakek moyang berkomunikasi, mengenal bahasa, mampu berkata, dan secara genetik kemampuan ini menjadi warisan maha dahsyat spesies manusia.
Bahasa? Itulah senjata, menjadikan spesies manusia berdaya, modal pertama berbudaya. Tanpa bahasa, spesies manusia tidak memiliki pembeda, tidak berkemampuan membayangkan sejarah panjang peradaban spesiesnya.
Bahwa bahasa melahirkan banyak hal. Bahasa pikir melahirkan numerikal bentuk, mengkonstruk berbagai subsatansi yang tak terwakili bahasa verbal abjadtik. Bahasa wujud melahirkan visi yang terimpuls oleh syaraf mata menjadi arti tertentu. Bahasa hati melahirkan rasa yang membuat berisyarat terhadap substansi dan esensi. Bahasa verbal memberikan impuls syaraf dengar dan pandang membangkitkan kesadaran tentang esensi substansi, melahirkan makna.
Bahasa verbal memiliki berbagai macam cara untuk lahir, hadir, bermanifestasi, meng-ada, bahkan me-wujud ke dalam, kehidupan spesies manusia. Getaran pita di tenggorokan menghasilkan bunyi, berbarengan dengan gerak bibir, merambat menjadi bunyi melalui udara di sekitar, menyentuh dinding luar gendang telinga, terimpuls-lah syaraf dan terhasilkan bayangan esensi substansi, terwakili.
Berbarisnya berbagai huruf di atas hamparan wujud, image alfabetik mengusik impuls syaraf mata, menghadir makna dalam ruang pembeda spesies manusia. Dengan kata spesies manusia berdaya membedakan bentuk dari berbagai wujud, membangun gedung bertingkat, merakit alat pendukung kehidupan, membuat garis pembeda dalam satu kingdom taksonomi animal.
Kata-kata menjadi manifes, tergantung dari indra mana yang menghasilkannya: dari gesekan pita suara menjadi ucapan, dari indra peraba dengan alat penghasil karakter menjadi [tulisan, grafis, simbol, logo]. Mewujudlah matematika, prosa, puisi, drama. Semua berkedudukan, berfungsi, berperan mewakili kepentingan. Menjadi konsumsi.
Puisi? Puisi berbagi tempat dengan yang lain. Puisi tidak menjual, kadang abstrak, terkesan subjektif, ketinggalan menjadi jadul. Puisi tidak membumi. Puisi hanya menjadi milik para resi. Puisi terpental dari hingar bingar kosmopulit. Puisi tidak lagi menghibur, terlampau melo, melemparkan ke dalam sedih, manjauhkan dari rasa segar kehidupan. Padahal puisi punya kepekaan jiwa, kecekatan berkata, ketepatan membeber rasa, menyederhanakan kejamakan kehidupun. Karena itu menggauli dan mencintai puisi menjadi seperti mengintip bintang dengan teropong, terkejut saat mengetahui ada bintang berekor.
Ternyata, yang semestinya mewujud pasti maujud, seberapa kuat yang lain menahan, tidak peduli. Bahwa kehidupan menjadi dirinya sendirisendiri, terlahir dalam perbedaan, tidak berguna membandingkan, meski itu memang perlu.
Semua kembali pada sense of tuoch, setiap kata merangkai makna, mengejawantah dari gerak ragawi yang terindra. Diri ini musti kontribusi, meski hanya menaruh satu bata di tembok peradaban.
Kata-kata terangkai berwujud ”puisi”, aku hanya membidani. Setiap hal di luar diri memiliki esensi. Terimakasih kata, engkau telah terlahir, datang, menyapa.
Malang, pas adzan subuh senin pagi 11 Agustus 2008
0 Komentar