Matahari membakar di suatu siang yang terik. Keributan  bersahutan di jalanan. Burung-burung hilir mudik di siang itu. Sebagian hinggap sekejap pada kabel listrik. Mereka bercericit riang membuncah ke angkasa. Cericit burung-burung itu membasuh angkasa kota ini.

Di kejauhan, pada gang yang sepi. Beberapa mobil terparkir. Tampak lelaki berjalan menyusuri gang itu. Kaos oblong berwarna oranye dan buntalan tas plastik ditangannya. Langkahnya terbata, terlihat malu-malu. Kakinya berat, sementara buntalan tas plastik hitam yang dipegangnya berayun bersama gerak tangannya. 

 Aku mengamati dari kejauhan. Dari seberang jalanan, duduk di sebuah portal pembatas jalan yang kotor. Pohon peneduh jalan meradang di terik Oktober ini.

Aspal jalan seolah mengelegak, membiaskan kabut fatamorgana, memberikan kesan bahwa hitamnya aspal itu adalah permukaan kolam renang air hangat tapi dengan air berwarna hitam. 

Pandangan mataku kembali pada lelaki dengan kaos oblong oranye dan tas plastik berwarna hitam itu. Kini ia sampai di ujung gang, berhenti dan hendak menyeberang. Dahinya mengkerut menahan lelehan keringat yang menderai. Wajahnya terlihat kusam karena debu dan keringat yang menempel menjadi satu. Sesekali ia menyeka wajahnya dengan tangan yang bebas, ditingkah lalu lalang kendaraan yang bergerak cepat-cepat, lelaki itu masih saja berdiri di tepi jalan. 

Bising dan mencekam siang ini. Pengendara berkejaran dengan denyut dan kesibukan kota tak peduli dengan apapun kecuali kehendak untuk segera sampai di tujuan masing-masing. 

Lelaki itu masih saja berdiri di tepi jalan, ia mundur. Berbalik badan, melangkah menjauh ke arah yang berlawanan dengan jalanan, ia kembali ke arah ia datang mengarah ke dalam gang, menjauh dari jalanan dan tempat ia berdiri hendak menyeberang. 

Aku mengamati dan terus mengamati, sebab sangat kentara ia lebih yakin dengan pilihannya kali ini. Pilihannya untuk menjauh dari jalanan dan membatalkan niatnya untuk menyeberang. Ia melangkah dan terus melangkah, terlihat dari kejauhan ia meraba saku celananya. 

Tampak sedang mencari sesuatu. Ia berhenti sejenak, aku penasaran dengan lelaki berkaos oblong oranye ini. Apa yang dia cari di sakunya, kuputuskan beranjak dari tempatku duduk. Berdiri di tepi jalan dan bersiap untuk menyebrang, seketika ada kesempatan aku menyeberang dan menuju ke arah lelaki itu berdiri. Kulakukan dengan hati-hati agar tak menganggunya. Hanya sekedar ingin tahu apa yang sedang dicari lelaki berkaos oranye itu, dan tampaknya ia telah menemukan apa yang dicarinya. Di tangannya kini tampak sebungkus rokok dan korek api, ia menepi menemukan tempat sampah, membuang buntalan tas plastiknya disana lalu berjalan menjauh. 

Kini kedua tangannya bebas, ia membuka bungkusan rokoknya, menyalakannya sebatang dan menghilang ke balik gang yang lebih kecil di antara dinding-dinding bangunan. Aku masih penasaran, aku berjalan ke arah tempat lelaki itu menghilang, sambil terus berjalan aku menoleh ke arah lelaki itu. Kulihat ia bersandar ke dinding di bangunan pertama di ujung gang. Ia bersandar sembari menikmati kepulan asap rokoknya. 

Aku melewati gang itu berjalan terus, berpura-pura tidak melihat dan tak peduli. Sebelum mencapai ujung jalan ini aku berbalik badan, aku penasaran dengan isi bungkusan yang di buang si lelaki itu ke tong sampah. kuputuskan menghampiri tempat sampah dimana si lelaki itu membuang bungkusannya. Aku berjalan santai, seolah orang yang sedang mencari alamat. 

Tepat di depan gang tempat lelaki itu kulihat sedang menikmati rokoknya, aku menoleh lagi. Kulihat lelaki itu sudah tak ada disitu. 

Mungkin ia berjalan ke arah dimana gang kecil itu berujung. Aku tak tau kemana arah gang itu, jadi kuputuskan untuk tak mengikutinya lagi.

Kupercepat langkahku ke arah tempat sampah itu, dan berhenti di depan tempat sampah itu, aku pungut bungkusan plastik itu, dan kubuka. Ternyata nasi, belum basi masih hangat malahan.