Adalah Minke, seorang pemuda pribumi terpelajar hidup di masa kolonial Belanda di Indonesia mendadak dilanda pergolakan batin. 

Pikirannya sebagai terpelajar pada masa itu mengalami gegar budaya berkaitan antara segala sesuatu yang bersifat tradisional dengan modernitas Barat. Penyebabnya klise, Minke jatuh cinta dengan Annelies, putri seorang gundik pribumi bernama Nyai Ontosoroh.

Alur cerita berikutnya jelas bisa ditebak.

Mereka menjalani kehidupan penuh tantangan di antara berbagai ketidakadilan sosial beserta diskriminasi rasial tanpa henti.

Pada akhirnya, kekalahan jelas datang. Minke sang tokoh utama, beserta Nyai Ontosoroh, keduanya kalah dalam satu plotting panjang melawan sistematika kebrutalan kolonialisme. 

Tokoh demi tokoh bermunculan, Jejak Langkah Pram Menggambarkan Anak Semua Bangsa

Nukilan diatas adalah sekilas cerita dalam novel Bumi Manusia. Novel ini adalah novel pertama dari tetralogi buru karya Pramoedya Ananta Toer. 

Istilah tetralogi Buru diambil untuk menandai nama tempat untuk memenjarakan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) dimana Pram pernah menjadi salah satunya. 

Kata Buru sendiri adalah nama pulau yang terletak di bagian timur Indonesia dan termasuk dalam wilayah Provinsi Maluku.

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mastoer seorang guru sedangkan ibunya, Saidah, berprofesi sebagai pedagang. Ia adalah anak sulung dari sembilan bersaudara. 

Masa muda Pram bertepatan dengan era kolonial karena itu ia sempat menerima pendidikan dasar dari sekolah kolonial HIS (Hollandsch-Inlandsche School), yang berlanjut ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pendidikannya di MULO tidak selesai karena kesulitan ekonomi. 

Jejak awalnya sebagai seorang sastrawan bisa ditelisik sejak masa penjajahan Jepang di Indonesia. Saat itu Pram aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan.

Eksistensinya terutama tampak dalam banyak kegiatan kebudayaan. 

Hingga pada 1947 novelnya yang berjudul "Kranji dan Bekasi Jatuh" diterbitkan. Meski novel tersebut bisa dibilang sebagai pondasi awal yang menyusun karir kesustraannya, nama Pram baru mulai dikenal di dunia sastra Indonesia modern pada bilangan tahun '50 an lewat novel berjudul "Keluarga Gerilya".

Dimulai dari era kolonial hingga datang era Republik di masa Orde Lama, Pram dikenal sangat produktif. Karyanya yang paling terkenal pada masa ini salah satunya adalah novel berjudul "Korupsi" dan terbit pada 1954. 

Masuk periode 1960-an, Ia tampak makin aktif dalam organisasi kebudayaan yang dituding beraliran kiri yaitu Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Lekra didapati sebagai sayap kebudayaan PKI dan memang kala itu sedang populer serta berpengaruh di Indonesia.

Keaktifan Pram dalam organisasi Lekra inilah yang kelak menjadikannya sebagai narapidana politik lalu dijebloskan ke pulau Buru. 

Selama masa penahanan ini Pram malah semakin aktif dalam menulis. Magnum Opusnya, "Bumi Manusia" (1980), "Anak Semua Bangsa" (1981), "Jejak Langkah" (1985), dan "Rumah Kaca" (1988) semua lahir selama 14 tahun ia menjadi seorang tapol.

Pram dalam Kacamata Perjuangan Menuju Pembebasan Intelektual dalam Melahirkan Manusia Indonesia yang Hakiki

Belakangan karya Pram semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Bahkan karya Pram "Bumi Manusia" telah diadaptasi dalam bentuk film pada 2019.

Namun tidak demikian bila ditelisik setidaknya beberapa dekade lalu. Karya Pram pernah dibredel dan tak boleh dikonsumsi oleh khalayak umum. Tak mudah untuk menemukan novel - novel karyanya bahkan ditoko buku terkenal sekalipun. 

Tapi tidak demikian dalam kacamata penikmat dan publik sastra Internasonal 

Tercatat beberapa penghargaan termasuk Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts (1995) pernah diraihnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa meski tak pernah secara resmi tercatat sebagai calon penerima nobel perdamaian Pramoedya Ananta Toer dianggap layak untuk berada dalam jajaran para peraih penghargaan bergengsi tersebut. 

Pram kini telah pergi,

Ia berpulang pada 30 April 2006 di Jakarta akibat komplikasi diabetes dan jantung. Namun ia adalah tetap seorang sastrawan produktif sekaligus motor dalam pembebasan intelektual yang tak pernah henti dalam menginspirasi lahirnya manusia Indonesia hakiki dan merdeka sejak dalam hati dan pikiran. 

Referensi

  • Wikipedia - Pramoedya Ananta Toer
  • Biography - Encyclopaedia Britannica
  • Pramoedya Ananta Toer, a Political Prisoner Who Never Stopped Fighting