"Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh"
Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, 1998
Nukilan dua bait puisi di atas adalah nukilan paling indah dari sedemikian panjangnya sajak Taufiq Ismail berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, yang juga akrab disebut dengan akronim MAJOI.
Puisi Liris, demikian teori sastra menyebutnya.
Dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Taufiq Ismail menjabarkan secara mendetil dan intens emosi dan perasaan pribadinya sebagai manusia Indonesia.
Berdarah Sumatera Barat, Penandatangan Manikebu
Taufiq Ismail lahir pada 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayahnya, H. Ismail Mustafa, berprofesi sebagai seorang guru, dan ibunya, Nurhayati, adalah seorang ibu rumah tangga.
Keduanya adalah pribadi yang sangat berperan dalam membentuk identitas dan jati dirinya hingga menjadi seorang sastrawan sebagaimana dikenal khalayak.
Tercatat bahwa kecintaan kedua orang tuanya terhadap dunia sastra berpengaruh besar dalam kariernya sebagai penulis dan sastrawan yang produktif.
Lebih lanjut, jati diri Taufiq Ismail sebagai penyair dan sastrawan juga dibentuk oleh latar belakang akademik.
Pendidikan dasarnya dimulai di Solo, Semarang dan Yogyakarta.
Selanjutnya masa SMP ia kembali ke Bukittinggi dan menyelesaikan pendidikan SMA di kota Pekalongan, Jawa Tengah.
Cita - cita untuk menjadi seorang sastrawan telah tertanam dalam diri Taufiq Ismail bahkan sejak ia berada di Sekolah Menengah Atas.
Hingga ia memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran hewan di Universitas Indonesia.
Yang menariknya pendidikan ini ia ambil semata - mata agar ia mampu merawat peternakan dengan baik dan hasilnya dapat digunakan untuk menafkahi obsesinya dalam dunia kesustraan Indonesia.
Pada beberapa sumber diketahui bahwa Taufiq Ismail berhasil menyelesaikan pendidikannya dan meraih gelar sebagai Dokter Hewan namun impiannya sebagai pengusaha peternakan kandas.
Diketahui pula bahwa Taufiq telah memilih lokasi untuk usaha ternaknya di sebuah pulau dalam kawasan Selat Malaka.
Meski Gagal dalam mewujudkan mimpi sebagai peternak yang sastrawan, Taufiq Ismail tercatat pernah mengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Karirnya sebagai pengajar di IPB harus terhenti karena keputusannya berkontribusi dan menjadi salah satu pribadi yang menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Sebuah narasi kebudayaan di masa demokrasi terpimpin.
Dengan terhentinya karir sebagai pengajar IPB, Taufiq Ismail malahan semakin aktif di dunia kepenulisan.
Ia didapuk oleh HB. Jasin, salah satu nama besar dalam dunia sastra Indonesia sebagai Penyair Angkatan '66.
Tak Puas Hanya Sampai Penyair Angkatan '66, Melahirkan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Dalam dunia sastra dan kepenulisan Indonesia. Gelar Angkatan '66 berarti adalah seorang pembaharu.
Alih - alih merasa puas, Taufiq ismail malahan lebih menggelora dalam menghasilkan karya tulis. Tercatat beberapa karya tulisnya seperti;
- Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia,
- Tirani dan Benteng,
- Tirani,
- Benteng,
- Buku Tamu Musim Perjuangan,
- Sajak Ladang Jagung,
- Kenalkan,
- Saya Hewan,
- Puisi-puisi Langit,
- Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk,
- Ketika Kata Ketika Warna,
- Seulawah-Antologi Sastra Aceh,
- Ia hasilkan dalam periode kepengarangannya.
Hasilnya, ia diganjar dengan berbagai macam penghargaan antara lain;
- Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970),
- Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), serta
- South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
Selain deretan penghargaan sebagai bukti produktifitasnya di bidang sastra. Nama Taufiq Ismail juga tak lepas dari kontroversi.
Ia dituding oleh Saut Situmorang, seorang penyair kenamaan Indonesia lainnya telah melakukan plagiarisme karya puisi penyair Amerika bernama Douglas Malloch, yang bertajuk Be the Best of Whatever You Are.
Namun tuduhan ini tidak menjadikannya redup. Puisi dan karya tulisnya terus menjadi bahan ajar dalam dunia pendidikan dan sastra Indonesia.
Referensi
Wikipedia: Taufiq Ismail
Goodreads: Taufiq Ismail
Ensiklopedia Sastra Indonesia
0 Komentar