Sebuah Kronik di Negeri Burung-burung Manyar
Awan yang gemawan,
Dalam pendar yang bersinar di antara lintang dan purnama
Berdesir, dua tiga titik putra angin dan embun
Sebutir biji rerandu terjatuh,
Memecah jutaan kapas, menderas, meretas
Terbang dalam gerumbul-gerumbul putih yang mempesona
Berkilau sejenak di antara lintang dan purnama
Kecebong dan katak berkecipak
Sementara nyamuk, selayak tubuh para ninja
Mengambang, kakinya mendatar di permukaan air,
Riak-riak kecil yang indah timbul tenggelam
Sebentar memutar, sejenak memendar
Lalu mengeletar dan hilang, hingga hening
Sebutir biji kapas, henti
Hinggap pada lembab, lembayung tanah
Ia menancap, ya ia menancap
Lembab, lembab tanah yang sembab
Ia memeluk biji kapas
Dan tertidur,
Tertidur dalam semangat
Terbangun dalam apa yang mengendap
Dua tiga, lemas,

Dan kuning, dan siram
Tangis awan, derap bayu
Lelah, lemah dan henti
Hingga, Hinggap
Bercericit
Di kanan
80 km/jam
Di kiri
60 km/jam
Manyar bercericit, hinggap pada teras beton
Toko Kasur “Tidur Lelap”
Dua tiga orang hilir
Dua tiga orang mudik
Dan berdenting
Kelepak sayap, burung itu terbang menjauh
”Hibur, lipur duka suka peradaban, sebab sekeras apapun kita memadatkan tanahnya
rumput akan tetap tumbuh pada waktunya"
Malang, 8 Oktober 2011
Raditya Winata
0 Komentar